Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "My First Client"

27 Mei 2020   14:15 Diperbarui: 27 Mei 2020   14:21 8149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Berawal dari iseng melihat clip video di ig TV, ada sebuah film bertema kekerasan pada anak yang dilakukan oleh ibu. Puncak cerita anak sulungnya menjadi tersangka pembunuhan. Saya langsung mencari judul film my first client (2019).

Film ini bercerita mengenai seorang pengacara muda yang bercita-cita bekerja di perusahaan besar, suatu hari dia tidak sengaja bertemu dengan dua orang anak kecil bersaudara bernama Da Bin dan Mi Joon. Da Bin dan Mi Joon tinggal bersama ayahnya yang mengabaikannya, ibunya sudah lama meninggal, suatu hari ayahnya mengajak calon ibu baru.

Awalnya kehidupan mereka menyenangkan, namun lama kelamaan berubah, ibu tirinya tempramen dan suka memberikan hukuman yang bersifat fisik pada Da bin dan Mi Joon jika kedua anak tersebut melakukan kesalahan. Pengacara Jung Yeob bersimpati dengan keadaan kedua anak tersebut memberikan perlindungan namun usaha kedua anak tersebut mencari perlindungan berujung pada kematian Mi Joon.

Sang kakak Da Bin dijadikan tersangka pembunuh adiknya, kasus ini menjadi viral di Korea Selatan. Orang-orang bertanya mengapa Da Bin membunuh adiknya? Pengacara Jung Yeob pasang badan melakukan tugasnya membela klien, lewat bukti video rekaman penyiksaan yang tersimpan di boneka, akhirnya ibu Tiri mendapatkan ganjaran hukumannya. Setelah saya telaah film yang berhasil menguras air mata, film ini berangkat dari kasus nyata di provinsi Gyeongsang Utara, Korsel pada tahun 2013. Pada tahun tersebut publik heboh dengan pemberitaan wanita yang menyiksa anak tirinya hingga meninggal dunia dan memaksa saudaranya untuk mengaku menjadi pembunuh. 

Awal menonton film ini, saya begitu simpati keadaan dua saudara ini. Ketika saya melihat secara objektif, kasus kekerasan pada anak bukanlah hal yang langka.

Sewaktu saya bekerja di perlindungan perempuan dan anak, saya sudah sering menangani kasus seperti ini. Jika kita telaah lagi, film itu  menunjukkan adanya ketimpangan peran dalam keluarga. Ibu tiri adalah perempuan muda yang bekerja sebagai wanita karir, dia menikah dengan duda. Setelah menikah, kita bisa melihat beban peran ganda itu dibebani oleh sang ibu tiri. ayah kandung anak sekaligus suami ibu tiri sama sekali tidak peduli dengan urusan rumah tangga dan istrinya. 

Kita bisa lihat adegan pengacara Jung Yeob yang mengadukan kekerasan dilakukan oleh istrinya, ayah kandung tak peduli dan beranggapan bahwa kekerasan pada anak adalah bentuk disiplin. Setiap orang memiliki harapan besar dalam pernikahan untuk hidup bahagia, begitupula ibu tiri. Namun sang ibu tiri harus terjebak dalam kehidupan mengasuh anak orang lain, mengurusi pekerjaan rumah tangga, bekerja di kantor sendirian tanpa ada bantuan ayah kandung. Kita bisa lihat betapa marahnya ibu tiri melihat rumahnya yang tadi rapi, ketika pulang dia menemukan rumahnya berantakan. 

Di film itu kita bisa menganalisa bagaimana rumah tokoh utama begitu sempit yang terletak di apartemen padat penduduk. Sang ibu bekerja dari pagi hingga menjelang malam. Dari kondisi ini kita bisa menyimpulkan sang ibu mengalami stress keseharian begitu menumpuk mulai dari adaptasi pernikahan, adaptasi pernikahan, adaptasi dengan keluarga baru serta permasalahan pekerjaan dan rumah tangga.

Ada penelitian psikologi menarik mengenai peristiwa kehidupan dan skor perubahan kehidupan. Perubahan kehidupan karena pernikahan berkontribusi sebesar 50 terhadap perubahan kehidupan, mendapatkan anggota keluarga baru berkontribusi 39.

Jadi ditotal tingkat perubahan kehidupan yang dilakukan oleh ibu tiru adalah sebesar 89, angka ini cukup besar untuk memberikan stressor baru. 

Kalo kita lihat lebih jauh lagi, ibu tiri yang menyiksa anak dalam film ini merupakan korban ketidakadilan dari kerasanya dunia patriarki. Dia bertanggung jawab atas urusan rumah tangga, sementara ayah kandung tidak peduli, perusahaan tidak memberikan kompensasi waktu ataupun keringanan pada perempuan karir. Menyewa ART? Wah tidak bisa! di Korea hanya orang kaya saja yang bisa menyewa ART, kalau kita lihat kehidupan para pemain, mereka tinggal di apartemen, artinya kondisi keuangan mereka masih kategori menengah.

Di sisi lain walaupun apartemen yang mereka tinggali padat penduduk, namun tetangga disana tidak ada yang peduli. Jangankan melaporkan kasus ini ke perlindungan anak, sekedar untuk mengingatkan atau menghentikan siksaan ibu tiri meski teriakan anak terdengar memilukan, tak ada yang membantu. Hanya anak kecil, teman dari Da Bin yang bersedia membantu Da Bin, sementara orang dewasa pura - pura tidak tahu. 

Ketika Da Bin menjadi tersangka pembunuhan adiknya, mata orang-orang melihat ke arah Da Bin dan bertanya mengapa bisa terjadi? Saat Da Bin memberikan kesaksian, orang-orang dewasa datang ke sidang memberikan dukungan pada Da Bin. Kemana mereka saat Da Bin dan adiknya disiksa?

Saya jadi teringat perkataan Albert Eistein, " Dunia yang saya tempati begitu kejam, bukan karena banyaknya orang jahat, namun karena banyaknya orang baik yang tak peduli"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun