Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Sepelekan Mereka yang Depresi karena Skripsi!

12 Januari 2019   08:25 Diperbarui: 6 Juli 2021   10:48 2283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan Sepelekan Mereka yang Depresi karena Skripsi! (Sumber : inglish.it)

"Sudah sampai mana skripsimu hari ini?"

Pertanyaan di atas memang sama horrornya dengan pertanyaan "Kapan nikah?" atau "Kapan dapet kerjaan?" wkwkwkkk dan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini hanya tentang waktu saja untuk memainkan perannya. 

Sebab mana mungkin seorang anak SMA akan merasa  dibuat malu, takut, atau grogi ketika mendengar atau mendapatkan pertanyaan seperti ini; "Sudah sampai manaskripsimu hari ini?" toh dia kan masih SMA.

Sebenarnya di semester awal sewaktu saya masih kuliah dan cengengesan dulu pun jika saya mendengar kata skripsi, hal itu sepertinya tak terlalu membuat saya stress, apalagi tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan judul skripsi, Oh no!! sama sekali tidak yak. 

Yang saya pikirkan saat itu hanyalah tentang "Ini pun akan berlalu" persis seperti salah satu judul cerita pada buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3! dari Ajhn Brahm. 

Dalam buku tersebut saya menyimpulkan bahwa semua memang akan berlalu, termasuk kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi, jadi jangan terlalu dibuat pusing. Hakuna matata atau there's no worries deh pokoknya.

Baca juga : Menelusuri Jalan Tikus yang Gelap: Praktek Jasa Joki Skripsi dan Penggunanya

Hari demi hari berlalu, dan memang benar adanya bahwa ini pun akan berlalu, termasuk pada skripsi saya. Meski dibuat pusing tapi akhirnya skripsi saya telah berlalu begitu saja, tanpa terasa. Dan sejauh ini saya sudah terbebas dari beban pertanyaan "Sudah sampai mana skripsimu hari ini?". 

Namun berbicara tentang skripsi, ada satu hal yang tiba-tiba membuat saya kembali mengingat masa-masa sulitnya menyusun skripsi saat dulu. Hal tersebut adalah ketika saya melihat beberapa berita tentang mahasiswa yang nekat mengakhiri hidupnya lantaran kesulitan untuk menyelesaikan skripsinya. 

Parahnya adalah sebelum saya merasakan pahitnya menyusun skripsi, saya justru merasa bahwa mereka yang depresi kemudian bunuh diri karena skripsi adalah mahasiswa yang takut menghadapi kesulitan, imannya gak kuat, dan payah.

Hal seperti itu adalah pemikiran saya saat dulu. Sebab setelah saya merasakan sulitnya masa-masa menyusun skripsi dan melihat kejadian mereka yang bunuh diri karena depresi tugas skripsi, secara naluri perasaan saya malah berubah menjadi paham dan enggan menyalahkan buruk atau tidaknya perbuatan seperti itu. 

Bagi saya membicarakan kuatnya iman, kemampuan atau pendirian seseorang tak lagi saya libatkan dalam memandang kejadian seperti ini. Bahkan ketika melihat banyaknya komentar warganet menanggapi berita-berita tentang mahasiswa yang bunuh diri karena skripsi, hal itu malah membuat saya berpikir bahwa mereka sangat tega sekali.

Baca juga : Mahasiswa Ungkap Kehidupan Kerja Setelah Lulus Sidang Skripsi

Sebab tanpa basa-basi, dengan mudahnya warganet menuliskan kalimat-kalimat yang menyudutkan atau menyalahkan perbuatan si pelaku bunuh diri. Ambilah contoh misalnya berkomentar seperti ini;

Cuma bikin Skripsi aja kok pake depresi segala, hellow!!! - Warganet

Memang sederhananya adalah karena warganet yang berkomentar bukanlah si pelaku bunuh diri tersebut, toh mungkin jalan dan kisah hidup yang sedang dihadapi antara pelaku dan warganet yang berkomentar memang berbeda. Namun bukan hal tak mungkin jika salah satu pengalaman hidup seseorang dengan orang lainnya pernah memiliki kemiripan. 

Sebab tak mungkin juga jika di antara warganet yang berkomentar menghakimi kejadian tersebut, tidak ada satupun yang pernah merasakan pahit-pahitnya masa menyusun skripsi? mustahil! dan saya yakin kalau sebagian dari mereka pasti pernah merasakannya. 

Hanya saja mereka enggan menganggap hal itu secara serius, toh itu pun sudah berlalu bagi mereka dan dengan suksesnya mereka mampu melalui masa-masa sulitnya bergelut dengan skripsi. 

Baca juga :Rahasia Menyelesaikan Tesis/Skripsi di Masa Pandemi

Memang mencoba mengubah cara pandang seseorang terhadap suatu kejadian tidaklah mudah, namun tentang kejadian ini saya akan sedikit bercerita tentang masa-masa di mana saya pernah dibuat kacau karena skripsi.

Ketika saya berada di masa-masa kacau karena skripsi, bagi saya Dunia terlalu tak mau tahu tentang keadaan saya yang sedang kesulitan itu. Saya harus menghadapi dua dosen pembimbing yang keinginannya berbeda-beda, sering kali dospem satu meminta revisi saya harus seperti ini, dan dospem dua saya malah meminta saya harus seperti itu. 

Hal itu jelas membuat saya stres, belum lagi revisi yang saya terima malah membawa saya kepada masalah yang semakin kacau. Ibaratnya adalah ada revisi di dalam revisi, dan berulang kali hal ini terjadi. Menghadapi kejadian seperti ini bukanlah tentang bagaimana membuat skripsi sebagus mungkin dengan melakukan penelitian yang seakurat mungkin. 

Melainkan sejauh mana kita mampu meyakinkan dua orang dospem yang kadang tak tahu maunya bagaimana? Ini pun bukan sepenuhnya menyalahkan sifat dospem yang kadang membingungkan. 

Toh mana ada sih dospem yang ingin mahasiswa bimbingannya mendapatkan nilai jelek ketika disidang? mereka justru menginginkan mahasiswa bimbingannya mendapatkan nilai "A" dari penguji, dan hal itu membuat mereka bangga. 

Baca juga : Stiamak Dalami Metodologi untuk Skripsi

Bahkan mereka berusaha untuk menghindari mahasiswa bimbingannya dari perintah "Ganti judul!" setelah keluar dari ruang sidang propsal. 

Namun dalam masa penyusunan skripsi inilah yang kadang membuat seseorang merasa ini bagaikan akhir yang buruk dalam hidupnya, ketika dosen pembimbing mengatakan BAB sekian harus revisi lagi sementara waktu sudah mepet ke jadwal sidang, atau bahkan penguji mengatakan data tidak valid, Wow. 

Meski pengalaman saya dalam membuat skripsi tak terlalu menyeramkan, namun saya paham bagaimana rasanya menjadi mahasiswa yang terpaksa menunda jadwal sidangnya karena beberapa kendala, bahkan saya paham tentang mahasiswa yang gagal wisuda tahun itu karena judul skripsinya selalu ditolak, atau penguji menemukan kekeliruan dalam karya ilmiah tersebut sewaktu sidang berlangsung. 

Kenapa saya paham meski tak turut mengalaminya? Ya, saya paham karena kejadian tersebut menjadi bagian dalam perjalanan hidup beberapa teman saya yang tidak bisa lulus bersama saya di waktu yang sama.

Dalam masa-masa depresi karena skripsi inilah, setiap orang akan memiliki tindakan yang berbeda-beda, dan sulit untuk memaksakan ia harus seperti ini atau itu. Alhasil, bagi mereka yang merasa menyerah, kemudian mengakhiri segalanya termasuk hidupnya adalah cara yang tersisa.

Bahkan saya pernah mendengar cerita teman saya tentang salah satu mahasiswa abadi menjadi kurang waras karena tugas akhirnya tak kunjung selesai.

Bagi mereka yang terlalu menganggap sepele masalah ini pasti akan berkata bahwa skripsi bukanlah hal yang mengerikan. Kenapa? 

Karena mereka tak tahu bahwa memang bukan skripsilah yang sebenarnya membuat seseorang menjadi depresi. Melainkan ada sebuah reaksi yang muncul ketika seseorang menjadi depresi karena hal tersebut, yakni rasa malu, contohnya seperti ini;

  • Seseorang akan merasa malu ketika 4-6 bulan waktu yang diberikan untuk proses penyusunan skripsi ternyata tak kunjung terselesaikan olehnya
  • Seseorang akan merasa malu ketika teman-temannya bersiap untuk sidang, sementara skripsinya sendiri pun tak kujung di-acc atau datanya belum valid
  • Seseorang akan merasa malu ketika teman-temannya bersiap mengukur baju toga, sementara ia belum juga lulus menyelesaikan skripsinya
  • Seseorang akan menjadi malu ketika teman-temannya diwisuda, sementara ia tidak
  • Dan seseorang bisa menjadi depresi karena rasa malu tersebut

Rasa malu inilah yang sering kali membuat seseorang menjadi depresi dan terjebak pada tindakan-tindakan yang tidak diharapkan. 

Kenyataannya, benar bahwa skripsi bukanlah sesuatu yang perlu dianggap sangat mengerikan, namun depresi karena malu belum menyelesaikan skripsilah yang tak bisa dianggap sebagai masalah sepele. 

Sebab seseorang boleh menganggap sepele hal tersebut, tapi coba saja jika ia bertukar posisi sebentar saja dengan yang sedang merasakan depresi, rasanya terlalu naif jika ia memastikan bahwa ia tak akan depresi. 

Ibaratnya bagaikan orang yang berandai-andai seperti ini "Jika saja saya yang menjadi pejabat di negara ini, pasti saya tidak akan melakukan korupsi" halaaah preeet!! wkwkkk. Salam.

Tangerang, 12 Januari 2018
Diana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun