Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Presiden, Sebenarnya Kami Tak Benar-benar Saling Membenci Karena Politik

30 Juni 2018   05:12 Diperbarui: 30 Juni 2018   05:53 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Instagram Jokowi

Pada tanggal 27 Juni 2018 bertepatan dengan hari pemilihan umum serentak di 171 daerah, Presiden kita, Pak Jokowi memposting fotonya di Instagram dengan sebuah kutipan indah seperti ini "Terlalu besar perjuangan pejuang kita kalau hanya karena perbedaan pilihan politik kita tidak saling bertegur sapa".

Saya pun sempat memikirkan kalimat tersebut, dan ternyata memang benar. Sebab akan sangat berat beban yang harus ditanggung pemimpin kita nanti, hanya karena sebagian masyarakatnya tak terima dengan keputusan dunia politik dalam pemilihan umum. Yang tadinya tetanggan dan saling berbagi oleh-oleh kalau berlibur, tiba-tiba bertegur sapa pun jadi ogah lantaran pandangan politik mereka berbeda. 

Kita pun tak bisa melupakan kejadian yang sangat disayangkan beberapa waktu lalu, yakni seseorang yang semasa hidupnya memilih pandangan politik berbeda dengan beberapa tetangganya, kemudian ketika ia meninggal sebagaian masyarakat sekitar ogah melaksanakan kewajiban mengurus jenazah. Berat memang beban menjadi seorang pemimpin.

Begitulah keadaan negeri kita saat ini, Indonesia, dengan sejuta keberagaman yang membuatnya menjadi unik. Apa daya diri ini ? sebelum dilahirkan, saya tak bisa memilih negara mana yang cocok untuk saya, semua terjadi begitu saja bagai bermain lotre, dan jreeeng lahirlah saya sebagai orang indonesia dengan berbagai permasalahannya. Semua tak bisa dihindari namun sulit untuk dihadapi, dan jadilah saya mencoba untuk menenangkan diri saja dengan menengok kenyataan baik bahwa "Kita tak benar-benar saling memebenci hanya karena politik".

Sejujurnya, saya lahir di lingkungan keluarga besar yang banyak sekali perbedaannya, mulai dari agama, ras, status sosial, budaya dan yang paling tegang yakni pandangan politik. Dan orang tua saya adalah bukti sederhana bahwa sebenarnya kita benar-benar tak saling membenci karena politik.

Kenyataan menunjukan bahwa Ayah dan Mama saya memiliki pandangan politik yang berbeda, dan hal ini mereka tunjukan secara terang-terangan kepada anak-anaknya. Begitupun dengan saya dan kakak-kakak saya, kami memilik pandangan politik yang berbeda. Permasalahan yang ada di rumah saya pun hanyalah rebutan channel TV yang akan ditonton (menyangkut politik pikihan kami) wkwkkk. 

Bahkan di rumah Engkong saya, dia tega sampai menghapus salah satu channel TV yang harus ia hindari karena politik. Tapi tetap saja, itu hanya sebatas rasa sentimen biasa, karena keseharian kami tetaplah keluarga yang saling menolong dan menghargai, pun tetap saling tertawa dengan candaan kalau sedang kumpul keluarga sambil babacakan (makan-makan).

Dan kalau mau jujur-jujuran lagi, Saya punya Paman yang saat akan ada aksi berjilid-jilid dia rela menunda pekerjaannya di daerah Sumatera dan kembali pulang menuju Jakarta (Monas). Loyalitasnya terhadap pandangan politik yang dia dukung memang tak perlu diragukan lagi. Tapi menariknya adalah sehari sebelum ia mengikuti aksi berjilid tersebut, paman saya ini sempat mampir dulu ke rumah saya dan membahas hal tersebut bersama keluarga, tanpa ada ketegangan emosi dan kalimat-kalimat kasar seperti akun bodong di media sosial ketika menyerang lawannya.

Kerukunan seperti itu terus berlanjut sampai sekarang di keluarga saya, karena kami tahu kalau hal tersebut adalah suatu kebebasan. Bahkan kami paham bahwa hak paling mendasar sebagai manusia adalah "Mengenali Tuhannya sendiri". Apalagi kalau hanya tentang memilih pandangan politik, urusan politik hanyalah nomor kesekian dari urutan Ketuhanan, dan rasanya sangat sepele.

Hanya saja akhir-akhir ini masyarakat kita terlalu asik hidup di dunia maya, ditambah sebagaian orang pun terlalu jahil membumbui dunia politik dengan isu SARA kemudian dimasak menjadi suatu makanan yang dinamakan "SARAP" hasil kombinasi dari orang-orang yang anti toleran tapi munafik. Karena mereka yang munafik bukanlah mereka yang masih bertegur sapa, bergaul, menghormati, dan menolong seseorang yang berbeda pandangan politiknya. Melainkan mereka yang berpegang teguh pada prinsip "Ogah nyapa yang milih Si anu" tapi dengan pedenya membeli suatu produk di sebuah warung yang pedangangnya ternyata memilih pandangan politik berbeda wkwkkkk.

Sejatinya manusia tak bisa sejeli program komputer untuk memfilter mana yang sepaham dan mana yang tidak sepaham untuk dihindari. Kita bisa bilang anti ini itu, tapi kita pun tak bisa sepenuhnya lepas dari hal yang menyangkut seseorang atau kelompok yang dianggap lawan. Mana mungkin untuk belanja atau naik angkutan umum, pedagang dan supirnya harus ditanya dulu begini "Kamu pro sama partai apa aja ? dan waktu pemilu kamu pilih siapa ? kalo kamu pro dan pilih si A, saya ogah ah naik angkot kamu" wkwkkk gak mungkin kan ? jadi yakin masih mau bilang anti ini itu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun