Mohon tunggu...
Dian Nirmala
Dian Nirmala Mohon Tunggu... -

Pemerhati kisah manusia dan menuangkannya dalam catatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Rasa Berharga

9 November 2018   11:52 Diperbarui: 9 November 2018   14:01 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita bisa memaklumi anak menangis karena mungkin masih kecil, masih takut, masih cemas, masih bingung apa yang harus dilakukan di hadapan orang banyak. Lalu kita merasa berhak untuk merasa lucu atas penampilan itu, boleh merasa senang di atas penderitaannya, dan boleh menjadikannya objek untuk merasa diri lebih baik. Tapi rasanya, mungkin, masih sulit buat kita menghargai anak menangis, menghargai keberanian untuk berdiri di atas dengan kaku dan bergetar, menghargai penolakan dan keengganannya untuk harus tampil saat itu. Apalagi jika posisi kita adalah sebagai orang asing.

Masih sulit buat kita menempatkan diri di atas kaki orang lain. Suatu keberuntungan bukan, anak yang menangis itu bukanlah anggota keluarga kita, sehingga dia memang layak ditertawakan. Bagaimana ketika anak yang menangis adalah anggota keluarga kita? Apakah kita melakukan hal yang sama, atau sebaliknya, ikut merasakan kepanikan, ada rasa malu juga karena diperhatikan publik, dan ada dorongan untuk menenangkannya?

Yaelah, Mba, serius banget! Gimanapun anak kan perlu merasakan kerasnya hidup. Apalagi kerasnya netijen. Justru nanti dia bakal jadi anak yang lemah, kalau baru diceng-cengin itu doang udah nangis. Lagian kita ngelakuin karena for fun aja kok. Mbanya aja kali sensi, ga bisa masuk sama joke macem gitu.

Dua poin: "ga bisa merasakan kelucuan yang sama" dan "tentang kerasnya hidup".
Pertama, saya memang ga menangkap ada hal lucu yang berlebihan dari situ, sehingga perlu mengeksploitasi anak untuk jadi bahan tertawaan. Boleh tertawa, saya juga senyum dan ketawa kok pada awalnya, tapi kemudian berhenti setelah menurut saya anak ini sudah terlalu lama menangis jeri. Boleh tertawa, tapi bukan menertawakan. Pahamilah konteksnya, mereka ada di situ bukan untuk menampilkan lawakan, tapi untuk belajar. Kedua, merasakan kerasnya hidup itu proses kita sepanjang hidup, sih. Yuk, mari bantu anak-anak kita tumbuh jadi generasi yang tahan banting, jadi anak yang resilien. Dasarnya adalah respek.

Kita gak wajib untuk bisa memahami kondisi seseorang secara psikologis, kalau bisa paham, syukur. Memang membutuhkan banyak pengetahuan (prior knowledge), banyak teori, banyak dinasihati, untuk bisa memaklumi. Tapi untuk bisa menghargai, kita butuh pengalaman dihargai. Bentuknya beragam sekali, seperti: bisa mendapatkan kesempatan untuk berekspresi, didengarkan saat menuangkan perasaan, ditanggapi pendapatnya, diladeni argumentasinya, diberikan ciuman, pelukan, atau elusan kepala, diterima rasa malunya, ditenangkan rasa panik dan takutnya, dan diajak tertawa bersama. Semakin banyak pengalaman dihargai, akan tumbuh skema dalam diri tentang rasa berharga, yang kemudian menjadi jangkar untuk menghargai orang lain.

Ini adalah tugas dalam bermasyarakat, yang artinya bukan hanya diserahkan pada orang tua atau guru, tapi juga masyarakat luas. Mudah-mudahan ke depan, kita dan generasi selanjutnya bisa menjadi orang-orang yang penuh dengan rasa berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun