Mohon tunggu...
Nasrull
Nasrull Mohon Tunggu... Karyawan biasa

Sikumis yang mencari makna diwaktu lembur lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Gaji Naik, Tapi Dada Sesak,Sebuah Surat dari Buruh kepada Dirinya Sendiri

16 Mei 2025   08:33 Diperbarui: 16 Mei 2025   08:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/photos/the-sun-is-setting-behind-two-silos-2jNj94O1j8s?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Apa kabarmu hari ini? Masih kuat? Masih bisa bertahan, bukan hidup? Aku tahu, kita sudah lama tak bicara dari hati ke hati. Mungkin karena sejak gaji naik itu, kita terlalu sibuk menghitung, bukan merasa. Terlalu asyik mengejar potongan-potongan mimpi, tapi lupa menggenggam yang benar-benar penting.

Kita kerja makin keras, tapi kenapa dada justru makin sempit?

Katanya, gaji naik adalah kabar baik. Tapi kenapa hatimu justru terasa makin jauh dari rumah? Kenapa waktu pulang tidak membawa kelegaan, hanya sepi yang menggantung di langit-langit kamar kontrakan?

Dulu, kita ingin gaji lebih tinggi supaya bisa bahagia. Sekarang, setelah itu tercapai, mengapa kita justru kehilangan waktu untuk bersyukur ? Mungkin karena gaji naik, tapi target juga ikut naik.,beban bertambah,kepala dipenuhi angka, bukan doa,hati penuh deadline, bukan kasih sayang.

Kita ini manusia, bukan mesin. Tapi mengapa kita dipaksa berjalan seperti rantai produksi yang tak boleh berhenti ?

Dunia memang berubah, Zaman memang bergerak. Tapi siapa yang menjaga hatimu agar tak ikut terkikis oleh waktu? Siapa yang menjaga napasmu agar tetap manusiawi?

Ingat saat pertama kali kerja Kita semangat. Biarpun capek, kita yakin itu jalan menuju harapan. Tapi sekarang, rasanya seperti berjalan di lorong panjang tanpa ujung. Kita bahkan lupa untuk menoleh ke jendela. Kita lupa bagaimana caranya menikmati secangkir kopi tanpa notifikasi grup kerja.

Gaji bertambah, tapi jarak dengan anak juga bertambah. Gaji meningkat, tapi rasa percaya diri malah menipis.

Bukankah hidup seharusnya tidak sesempit layar absen digital,Bukankah kita dulu bekerja agar bisa hidup lebih layak, bukan agar makin hancur secara diam-diam?

Aku rindu kita yang dulu. Yang masih bisa tertawa meski tak banyak uang. Yang masih punya waktu salat tepat waktu, ngobrol dengan tetangga, atau sekadar baca buku sebelum tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun