Konon bertani dan berburu adalah pekerjaan tersepuh manusia. Untuk mencukupi pangannya, manusia berupaya tak hanya mengambil di alam, tapi juga melakukan budidaya. Â Sering perkembangan manusia, aktivitas budidaya mulai ditinggalkan fungsinya semata untuk mencukupi pangan. Â Keberadaan uang sebagai alat tukar, memudahkan siapapun yang memilikinya mendapatkan pangan.
Dulu kala, bertani tak hanya sebatas aktivitas biasa, tapi juga merupakan aktivitas yang diyakini berhubungan dengan pahala dan dosa. Â Orang tua dulu, telah menyepakati banyak hal tertulis tentang SOP bertani. Â Ada cara dan waktu yang harus diperhatikan dan di taati. Misalnya ketika akan mulai masuk sawah atau kebun harus membaca do'a minimal baca bismillah dan sholawat. Bahkan tak jarang lidah petani-petani kami dulu tak kering dari ucapan istighfar, sholawat, dan dzikir.
Ketika waktu adzan tiba, meningalkan aktivitas, duduk mendengarkn adzan, membersihkan diri, mengambil wudhu lalu menunaikan sholat, tak jarang setelah itu melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Â Padi dan sayur yang ditanam diajak bicara dengan mesra, ditanya dengan lembut, apakah sedang lapar ? apakah sedang sedih ? apakah sedang sakit ? Dan tanpa menunggu, dengan sikap sayangnya memberi makan, membersihkan gulma yang membuat tanamannya tak nyaman, mengobati yang sakit. Â Ah, indahnya sesama makhluk Tuhan.
Betapa mirisnya kini, tak sedikit petani mengabaikan, tanaman tak lebih dianggap sebagai budak yang harus terus menghasilkan, bila perlu dipaksa. Padahal mereka ingin tempat hidup yang nyaman, makanan yang tak hanya enak tapi juga sehat, mereka juga perlu perhatian dan kasih sayang.
Dengan kebengisan hama-hama dianggap musuh yang harus dipancung dan ditumpahkan darahnya, bukan mengajaknya komunikasi persuasif, memintanya menjauh dengan lembut, tapi justru sikap garang petani yang ditunjukan. Â Padahal hama-hama itu juga makhluk Tuhan yang perlu hidup namun juga perlu pengendalian. Â Karena Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan pengaturannya yang ciamik.
Tak sedikit pula, yang angkuh dengan waktu, tak hirau kumandang adzan, cuek matahari telah terbenam, tak peduli dampak buruk racun, rusak lahan, matinya musuh alami, bahkan berakumulasinya sida di alam yang mengancam kesehatan dan keselamatan manusia. Lalu bila seperti ini dimanakah bentuk kesyukuran untuk mengoptimalkan anugerah berfikir pemberian Tuhan. Â Bila mengedepankan kebengisan, kegarangan dan egu yang dibungkus nafsu, lantas apa bedanya dengan binatang.
Dan betapa tak sopannya, ketika keberhasilan bertani semata ditakar dari kerja keras, modal, teknologi dan manajemen yang dijalankan. Â Padahal dibalik itu ada Tuhan yang Maha menentukan. Â Tuhan yang kadangkala menyelisihi hendak dan ingin hambanya. Â Panen produksi tinggi, modal begitu besar, tapi harga rendah. Â Atau justru modal besar tapi serangan hama tak bisa dikendalikan hingga berujung gagal panen. Â Hal ini kadang mengundang sumpah serapah dan caci maki, menempatkan berhasil semata dari faktor manusia. Â Padahal ada Tuhan di balik semua.
Kadang sikap abai terhadap hal ini dan melupakan peran Tuhan, mengundang sekian bala yang sulit dinalar manusia, entah serangan hama yang amazing, entah kekeringan yang tak di duga, entah banjir yang sulit diprediksi.Â
Semuanya gampang bagi Tuhan, sehingga pensyirikan dalam bertani harus diberantas dengan seruan dan teladan. Maka amatlah wajar bila sebagai petani sering melakukan pertobatan terus menerus ada atau tidak dosa yang dilakukan, dan hendaknya sering menyenangkan Tuhan, dengan melakukan apa yang diinginiNya dan menjauhi apa yang dilarangNya. Teknologi bertani penting, tapi Tuhan jangan ditinggalkan.
Karena sesungguhnya Tuhan menghendaki kebaikan, dan gen manusia itu fithrahnya menyukai kebenaran dan keta'atan.
#kombatan