Mohon tunggu...
Ahmad Sofyan
Ahmad Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arsitek dan desainer web freelance yang suka nulis dan ngeblog. Mantan kolumnis majalah INTELIJEN.\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gak Narsis, Gak Cantik?

13 Juni 2012   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berulang kali dan sangat sering, dalam perjalanan ke kantor, pulang ke rumah, di sekitar hingga di internet, selalu saja dijumpai, ABG hingga teman-teman dekatku yang mengambil foto diri mereka menggunakan handphone (HP). Bahkan, seorang sahabatku, wanita tentunya, memenuhi profil Facebook dengan ratusan foto diri berbagai gaya dan ekspresi, jerengin mata, leletin lidah, ah banyak pokoknya!

Entah ini sebuah keanehan atau perasaanku saja. Hampir mayoritas yang hobi ngambil foto-foto diri kayak gitu selalu kaum Hawa. Jika dibuat daftar, pasti sepuluh besarnya diisi wanita atau gadis belia.

Dengan maraknya tingkah polah seperti itu, muncul pula sebutan narsis. Siapa saja yang cukup pede, moto wajahnya dalam berbagai gaya atau ekspresi plus memajang hasil jepretannya di situs-situs jejaring sosial, sehingga dilihat dan dikomentari banyak orang. Dari situ muncul rating-rating dadakan, foto yang paling banyak di “Like” menduduki rangking teratas dan mengesankan foto itulah yang paling berhasil “menjual” gaya dan kecantikan empu-nya foto. Benarkah ?

Awalnya kupikir wajar saja, siapapun berhak untuk mengekspresikan diri dan kecantikannya. Ditopang kemudahan teknologi komunikasi dan informasi, tercipta ruang yang besar bagi setiap orang apabila ekspresinya itu dinikmati secara umum melalui cara-cara seperti foto sharing dan sebagainya. Tetapi benarkah jika narsis itu adalah bentuk ekspresi kecantikan ? Mengapa kecantikan itu harus mendapat pengakuan khalayak, dibuat rating, festival dan kontes ? Sehingga yang memenangkan kontes itu dinisbahkan sebagai yang tercantik, jadi juara harapan pun serasa berharap jadi yang cantik.

Apakah kecantikan itu diukur dari berputarnya kepala pria dengan mata melotot, tersenyum dan akhirnya ngajak kenalan ? Wanita yang bisa mengibaskan rambut panjangnya hingga menyentuh lembut seorang pria tampan yang melayang-layang karena kibasan itu, wanita tersebut pun dikategorikan cantik. Bagaimana dengan yang rambutnya pendek ?

Wanita berpinggang ramping, tinggi semampai, kaki indah panjang, leher jenjang, rambut terurai, itulah kecantikan ? Bagaimana dengan wanita yang bertubuhtidak seperti model, berkulit hitam, betis yang besar karena harus naik-turun bukit, rambut yang kemerahan terbakat teriknya matahari demi sesuap nasi ?

Jadi teringat perkataan Ade Armando, seorang pengamat media, yang mengatakan bahwa “Medialah yang menciptakan standar kecantikan.” Sebuah citra yang dibenamkan, lalu diikuti oleh khalayak.

Tidak perlu minder jika tidak satupun pria tampan bersiul ketika kita lewat. Tak perlu pula bersedih, andai tidak ada satu pun pria yang ngajak kenalan. Toh, kesan-kesan kecantikan yang dijejalkan setiap hari pada kita melalui TV, media masa, internet, hanyalah imaji-imaji, bukan fakta yang sesungguhnya. Tidak sepantasnya wanita yang rasional mendewakan kesemuan, sikap yang mengasingkan jari diri kita sebagai wanita Indonesia.

Gaya hidup, perilaku-perilaku semu dan narsisisme, semua mensyaratkan pengakuan khalayak yang menikmati suguhan-suguhan kita para wanita. Layaknya etalase di pinggir jalan, siapapun bisa melihatnya. Christopher Lasch tampaknya melihat narsisisme lebih sebagai satu dimensi dan kondisi psikologis dalam diri seseorang yang mengalami ketergantungan pada citraan diri dan ilusi-ilusi yang menyertainya, serta pada khalayak ramai atau massa untuk mengakui keberadaan citraan ini. Dengan demikian, seorang narisis tidak bisa hidup tanpa khalayak penonton, yang merupakan cermin tempat ia berkaca. Lihat Christopher Lasch, “The Culture of Narcissism” Warner Books, halaman 33, atau “Minimal Self : Psychic Survival in Troubled Times.”

Jika punya wajah biasa saja, hidung yang pun tidak mancung, rambutku pendek, tubuhu tidak seperti model, atau kulit tidak sehalus puteri keratin, tidak usah minder. Jika anda tidak suka memajang foto-foto sembarangan di media-media public, tidak harus khawatir luput dari perhatian, bahagialah Anda masih dicintai suami sepenuh hati. Karena bukan kemasan yang membuat seorang wanita layak dicintai atau dipuja.

Seorang wanita itu cantik karena berhasil menjaga kehormatan hingga saatnya menikah. Seorang wanitaitu cantikkarena selalu mendedikasikan takdirku sebagai seorang wanita untuk kebahagiaan orang-orang disekitarku. Begitupun pun halnya seorang pria, yang mendedikasikan takdirnya untuk kebahagiaan wanita yang jadi pendamping hidupnya maupun orang-orang di sekitarnya, itulah pria tampan menurut saya.

Kecantikan atau pun ketampanan tidak memerlukan pengakuan khalayak, maupun siulan atau tatapan binal pria. Tidak perlu mengibaskan rambut, tersenyum menggoda atau pandangan mata yang sensual. Apalagi memajang banyak foto.

Selama seorang wanita teguh dengan kodratnya, menjaga kehormatannya, memuliakan orang-orang di sekitar, dan jadi diri sendiri, sejatinya itulah kecantikan. Kecantikan yang merdeka dari kontes, narsisisme dan semua imaji-imaji semu. Kecantikan yang punya subtansi, bukan imaji.

Jadi, walau gak narsis, anda akan tetap cantik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun