Mohon tunggu...
Ahmad Sofyan
Ahmad Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arsitek dan desainer web freelance yang suka nulis dan ngeblog. Mantan kolumnis majalah INTELIJEN.\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

HUT RI Ke-69: Mewaspadai Modus-modus Perang Asimetris (2)

17 Agustus 2014   17:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:19 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah menelisik Modus Perang Asimetris dalam bentuk LSM (Lihat disini),  kini kita akan coba bahas modus lainnya dalam bentuk perang Ekonomi.

Perang Ekonomi ini bisa berupa penciptaan krisis finansial, perang tarif, pemaksaan satu produk tertentu untuk masuk ke negara lain, dan hal-hal yang berkaitan dalam aspek perdagangan/ekonomi.

Kita akan ambil kasus pada kejatuhan rejim Komunis Uni Soviet pada tahun 1991 lalu dan Krisis Moneter 1998 yang melanda ASEAN.

1. Jatuhnya Uni Soviet


Pada tahun 1991-an, dunia menyaksikan peristiwa yang sangat mengguncang. Rejim Uni Soviet yang begitu besar secara militer, politik, dan wilayah kini bubar barisan, alias hancur terserak menjadi beberapa negara kecil. Negara yang sejak akhir Perang Dunia II selalu menjadi counter-power Amerika pun tak berdaya menahan gelombang sakit yang menghancurkan dirinya.

Banyak yang menyangka, bubarnya Uni Soviet adalah hasil proses politik yang alamiah, terutama disebabkan kontradiksi yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Dugaan itu sangat salah, karena Soviet bubar disebabkan kebijakan-kebijakan, atau tepatnya strategi pemerintahan Ronald Reagan untuk menghancurkan benteng Komunis terbesar itu.

Beberapa modus yang dilancarkan Reagan bersama sahabatnya William Casey (Dir. CIA) yaitu sbb :

A. Mempermainkan Harga Minyak

Pada awal 1982, Presiden Reagan beserta penasihat utamanya mulai memetakan strategi mereka untuk menyerang kelemahan mendasar sistem ekonomi dan politik Uni Soviet. “Kami menggunakan strategi komprehensif yang meliputi perang urat syaraf ekonomi (economic warfare) untuk melumpuhkan Soviet,” kata Caspar Weinbegger. “Kami bekerja dengan sekutu kami, berkampanye secara diam-diam, dan kami merancangnya melalui lembaga NSDD (National Security Decision Directives), Lembaga Petunjuk Keputusan Keamanan Nasional yang dibentuk Presiden Reagan pada 1982 dan 1983. Lembaga ini bersifat amat rahasia.”

Pada Maret 1982, proyek rahasia NSDD-32 ditandatangani Reagan dengan sasaran mentralisasi kontrol Uni Soviet di kawasan Eropa Timur serta mendukung gerakan anti-Soviet di kawasan itu. Pada November 1982, proyek NSDD-66 diluncurkan untuk menghantam sendi-sendi ekonomi Uni Soviet yang makin melemah. Dan akhirnya, pada Januari 1983, Ronald Reagan menandatangani proyek berinisial NSDD-75 yang bertujuan tidak hanya melemahkan sistem pemerintahan Soviet, melainkan merombaknya secara total.

Reagan merekrut William Casey, Direktur CIA. Casey amat berpengalaman dalam proyek-proyek spionase. Ia pernah bekerja pada Kantor Pelayanan Strategis (Office Strategic Services) pada Perang Dunia II. Sementara itu Weinbegger, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, merupakan teman lama dan rekan kerja Reagan yang dikenal memiliki minat yang kuat terhadap inovasi teknologi serta amat membenci komunisme. “Bermain-main di atas kekuatan kita dan kelemahan mereka. Itulah ide awalnya,” kata Weinbegger antusias.

Caseymengunjungi Pangeran Fahd di Saudi Mei 1982. Walaupun ada banyak hal yang mereka percakapkan, Uni Soviet tetap menjadi topik utama. Mereka berdua sama-sama berpendapat, negara itulah penyebab hampir semua masalah dunia. Dalam pertemuan itu, Casey meyakinkan Fahd bahwa mereka telah melakukan segala yang mereka bisa untuk membuat negara-negara konsumen tidak lagi membeli minyak dari Soviet. Dia juga menyampaikan bahwa pemerintahnya akan terus mengambil langkah-langkah untuk membatasi program energi Soviet.

Sebagai imbalannya, dia meminta agar harga minyak diturunkan. Saat itu, Soviet menjual minyaknya dengan harga tinggi karena mereka harus membayar pinjaman uang dan impor teknologi. Casey meyakinkan Fahd bahwa bila harga minyak diturunkan, itu akan menguntungkan Saudi. Amerika tentunya kecipratan untung besar juga. Turunnya harga minyak akan mengurangi pembelanjaan dan akan memperkuat posisi ekonominya. Namun Casey menambahkan bahwa hal itu pun menguntungkan Saudi karena Amerika adalah mitra kuat Saudi.

Segala usaha Casey membuahkan hasil. Uni Soviet kesulitan uang, dan keuntungan dari penjualan minyaknya sangat bergantung pada harga minyak di pasaran. Bila harga minyak naik walaupun hanya US$ 1, Soviet akan meraup untung US$ 1 milyar dalam mata uang kuat. Namun sebaliknya, bila harga turun, misalnya US$ 10, kerugian Soviet pun mencapai berpuluh kali, sampai US$ 10 milyar mata uang kuat. Kondisi ini sangat menyenangkan hati Casey karena akan sangat mudah baginya untuk mempermainkan Soviet.

Pada Agustus 1985, produksi minyak tiba-tiba naik. Arab Saudi, yang semula produksi hariannya kurang dari 2 juta barel tiap hari, memompa sumurnya hingga menghasilkan 6 juta barel. Bahkan kemudian naik menjadi 9 juta barel. Harga internasional juga ikut anjlok. Dari semula US$ 30 per barel, dalam lima bulan menjadi US$ 12.

Bagi Amerika Serikat, anjloknya minyak ini berkah luar biasa. Tapi bagi Kremlin, ini musibah. Energi, yang menjadi mesin penghasil 80% uang Soviet, ibarat makanan pokok. Laporan rahasia CIA pada Juli 1985 menyebutkan bahwa ekspor Soviet melemah luar biasa. Neraca perdagangan Soviet-Barat, yang semula surplus di fihak Kremlin sebesar US$ 700 juta pada kuartal pertama 1984, anjlok menjadi defisit US$ 1,4 milyar pada periode sama tahun 1985.

Tanpa ekonomi yang kuat, tentu saja kekuatan militer sulit dikembangkan. Ini diakui Mikhail Gorbachev. “Tanpa pertumbuhan ekonomi, tak mungkin kita menjaga posisi Soviet di mata internasional,” tuturnya. Ia betul. Melemahnya ekonomi membuat pasokan mesin perang ke Afghanistan melemah. Kekuatan Mujahidin tumbuh makin cepat, dan keampuhannya kini tak bisa diremehkan tentara pemerintah dan Soviet.

Pada awal 1986 itu, produksi minyak Arab mendekat 10 juta barel. Harga pun terus jatuh, bahkan mendekati US$ 10 per barel. Tapi walau harga turun, duit yang diraup Arab naik sepertiga dari sebelumnya karena peningkatan produksi itu. Bahkan bila harga turun menjadi US$ 8, Arab masih meraup untung pula. Menurut perkiraan, penerimaan Amerika naik US$ 10 milyar akibat peningkatan produksi itu.

Tapi Soviet dengan sendirinya makin lemah. Amerika kini mulai masuk ke Ceko-Slovakia, untuk menggoyang kekuatan komunis di sana. Oposisi, yang dipimpin oleh kaum intelektual berpendidikan Barat, mendapat dana dari CIA. Aksi yang dilakukan Solidaritas di Polandia telah mendorong tumbuhnya kekuatan oposisi melawan kekuatan Soviet di seluruh Eropa Timur.

B. Blokade Suplai Teknologi

Akhirnya, 18 Juni 1982, Gedung Putih mengeluarkan peraturan baru yang belakangan oleh Eropa disebut sebagai Black Friday, alias Jumat Kelam. Peraturan itu melarang penggunaan dana dan teknologi Amerika dalam pembangunan jaringan pipa di Soviet. Itu berarti, perusahaan apa pun yang menggunakan teknologi Amerika tidak boleh bekerja sama dengan Soviet. Ini tentu membuat geram para pimpinan negara Eropa. Namun bagaimanapun tujuan Amerika untuk menghancurkan Soviet tidak dapat dihalangi.

Masalah yang timbul kemudian datang dari Eropa. Peraturan yang ditetapkan Reagan dalam pembangunan pipa gas di Soviet sangat menyulitkan fihak Eropa. Menyadari pentingnya hubungan dengan Eropa, Gedung Putih mulai memikirkan jalan keluar. Namun Reagan berkeras, peraturan baru itu hanyalah untuk menyelamatkan muka rekan-rekan Eropanya, dan sama sekali bukan demi Soviet.

Pada 13 November, Reagan megumumkan pencabutan ultimatum 18 Juni, dengan beberapa syarat. Amerika dan negara-negara Barat akan menyelidiki sumber energi baru, dan selama itu dilakukan, tidak boleh ada kontrak baru yang dibuat dengan fihak Soviet. Selain itu, Amerika Serikat memperkuat kontrol transfer pokok-pokok strategis yang dilakukan kepada fihak Soviet dan akan lebih mengharmoniskan kebijaksanaan kredit ekspornya.

Sebenarnya, hanya satu tujuan Amerika, yaitu berusaha mencari cara untuk mengurangi ketergantungan negara Barat kepada minyak Soviet. Saat itu ketergantungan mereka mencapai 30% dari seluruh kebutuhan.

Selain intel-intel resmi, CIA juga memanfaatkan sejumlah usahawan Amerika yang berbisnis di Kremlin. Sebagian adalah teman-teman Casey, seperti Stuart Jackson yang membantu secara sukarela. Ada juga yang harus dibujuk seperti Dwayne Andreas dari Archer-Caniles-Mindland. Cara kerjanya : mereka terbang ke Soviet untuk keperluan bisnis, sambil mencari informasi yang dibutuhkan CIA.

Sepulang dari sana, mereka tinggal menghubungi nomor telepon khusus di CIA dan melaporkan hasil investigasi mereka yang akan diteruskan ke Divisi Pengumpulan Informasi Nasional (NCD, National Collection Division). Biasanya, mereka mendapat ucapan terima kasih dari Casey, sang Direktur. Informasi yang dianggap berharga akan dibahas di tingkat NSC bahkan dibawa ke Presiden.

Keberhasilan yang patut dicatat dari operasi-operasi CIA selama beberapa tahun antara lain : pabrik kimia di Omsk berhasil ditipu sehingga menggunakan data dan informasi yang menyesatkan. Pabrik itu sudah sempat melakukan serangkaian percobaan yang sia-sia dan menelan biaya US$ 8-10 juta.

Ada juga pabrik traktor di Ukraina ditipu dengan rancangan mesin otomatis yang diberikan agen CIA. Lainnya adalah komponen turbin gas untuk memperbaiki jaringan pipa gas alam yang rusak. Setelah memakai komponen yang diberikan CIA, jaringan itu malah makin rusak.

Pada awal 1985 itu pula perang ekonomi rahasia yang dilancarkan menampakkan hasilnya. Kredit, teknologi, mata uang yang kuat, yang diharapkan Soviet dari negara-negara Barat, tidak mengucur. Pipa gas Siberia yang akan menjadi bagian penting bagi ekonomi Soviet dipangkas separuh dan rampungnya dua tahun lebih lambat dari jadwal.

“Ini semua gara-gara Amerika,” kata Oleg Tikov, ahli minyak di Kementrian Minyak Uni Soviet. “Semuanya menjadi serba kacau. Kami tidak bisa membeli turbin sehingga harus membuat sendiri. Telat dua tahun, bisa dibayangkan berapa milyar dolar kerugian kami,” katanya.

Semula Soviet menghitung, pada 1985 sudah bisa meraih pemasukan dari gas Siberia US$ 8-10 milyar, mata uang kuat terutama dolar, dan US$ 15-30 milyar setelah 1990. Tapi karena sanksi Reagan, yang melarang negara Barat mengekspor barang teknologi tinggi ke Soviet, rencana itu jadi berantakan. Malah Soviet harus mengeluarkan sekitar US$ 15 milyar.

Ini sekaligus bukti bahwa Soviet sangat tergantung pada teknologi Barat. Mereka sendiri tampaknya ragu untuk menggunakan produk rekayasa yang dikembangkan para insinyurnya. Pada 1984, Pentagon mengeluarkan laporan resmi mengenai ketergantungan teknologi Soviet terhadap Barat.

Laporan itu menyebutkan, dari 79 produk teknologi yang dijual selama 12 tahun ke Soviet, nilanya US$ 500 juta sampai US$ 1 milyar tiap tahun. Ketika Reagan melarang penjualan barang itu ke Soviet, untuk menghambat pembangunan jaringan pipa gas Siberia, terbukti negeri beruang merah itu kalang kabut.

Remuknya Uni Sovietbukan karena senjata perang bintang yang digemborkan Ronald Reagan ataupn kemunduran politik dunia yang dia terapkan. Dia kalah melawan gempuran senjata ekonomi bertubi-tubi yang ditembakkan Amerika Serikat.

2. Krisis Moneter 1997-1999

Bencana ekonomi yang melanda beberapa negara Asia pada tahun 1997 dan krisis global tahun 2008 lalu telah menimbulkan ketidakstabilan, ketidakpastian, dan pesimisme global. Bencana tersebut setidaknya mengangkat ke permukaan tiga patologi globalisasi ekonomi yang selama ini diabaikan, yaitu bahwa sistem perekonomian global telah berkembang sedemikian rupa sehingga komponen-komponennya berubah menuju ke arah sifat-sifat : 1.Virtual, semu bagaikan fatamorgana, 2.Infective, menjalar bagaikan virus, dan 3. Floating, mengapung dan berputar secara global bagaikan mengikuti sebuah orbit.

Apabila bencana fisik dapat didefinisikan sebagai “kejadian tiba-tiba yang menyebabkan kehancuran dan kerugian materiil maupun non materiil”, maka becana virtual (virtual catastrophe) adalah bencana yang direncanakan berdasarkan satu skenario. Kejadiannya seolah-olah muncul secara tiba-tiba, akan tetapi pada kenyataannya semua berdasarkan satu perhitungan tertentu. Anjloknya nilai mata uang, tidaklah terjadi secara alamiah disebabkan oleh krisis-krisis internal suatu negara, tetapi berdasarkan satu bentuk rekayasa dengan memanfaatkan momen-momen tertentu dari peluang krisis tersebut. Bencana ekonomi seperti inilah yang dicurigai telah melanda beberapa negara Asia Tenggara tahun 1997 dan Amerika maupun Eropa 2008 silam, khususnya peran para spekulan di dalam perencanaan dan pelaksanaannya.

Disinilah letak dan sifat virtual dari bencana ekonomi tersebut. Mata uang bisa dengan mudah diblow-up, dikoreksi, hingga didevaluasi. Ini persis seperti yang dinyatakan Hazel Handerson, “Uang dengan cepat kehilangan maknanya sebagai sistem ukuran bagi produksi dan nilai di dunia nyata. Dimanipulasi oleh para politisi dan bangk sentral, dan kini dipercepat oleh transfer dana elektronik. Uang kini semakin tidak bersentuhan dengan realitas.”

Dalam transparansi global, segala sesuatu yang berada di dalam jaringan global tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ancaman kontaminasi, radiasi, dan penularan berbagai jenis virus. Kontaminasi ini bisa dalam tingkat nasional, regional ataupun global. Kontaminasi virus seperti inilah yang didalami oleh beberapa negara Asia termasuk Indonesia, meyusul serangan para spekulan terhadap mata uang baht Thailand. Setiap negara tetangga Thailand seakan-akan kehilangan immune untuk menangkal pengaruh para spekulan tersebut, mirip tubuh yang telah kehilangan kekebalan akibat virus HIV. Bahkan virus krisis yang diakibatkan oleh spekulasi tersebut telah menjalari pasar-pasar modal dunia.

Dalam masyarakat virtual, ekonomi menjadi sensitif terhadap berbagai faktor non ekonomi, seperti politik dan gejolak sosial. Isu tentang terorisme, skandal, pidato keras seorang perdana menteri, atau berita menurunnya kesehatan kepala negara terbutki telah mempengaruhi nilai mata uang di beberapa negara dan kawasan. Sementara, analisis statistik tidak memiliki efek sedahsyat berita-berita virtual tersebut. Artinya, orang kini lebih percaya pada hal-hal yang virtual, daripada data-data konkret, oleh karena data-data konkret tersebut yang kini justru dianggap virtual.

Ilmu ekonomi seakan-akan telah kehilangan makna dan pijakan. Teori-teori ekonomi yang ada seolah tidak kuasa untuk berhadapan dengan perkembangan ekonomi virtual – satu sistem ekonomi global yang terkontaminasi rekayasa media elektronik, internet dan fiber optik.

Sebuah artikel majalah TIME 3 November 1997 yang berjudul How To Kill A Tiger, Speculators Tell The Story Of Their Attack Against The Baht, The Opening Act Of An Ongoing Drama,” disusun oleh Eugene Linden secara mencengangkan menuturkan pengakuan pada spekulan dalam mengacak-ngacak mata uang baht dan menciptakan krisis moneter di Asia Tenggara.

Pengakuan para spekulan itu sangat brutal : "Kami seperti serigala di atas bukit melihat ke bawah pada sekawanan rusa," kata salah satu spekulan mata uang yang membantu memicu devaluasi yang mengarah pada kejatuhan di pasar saham yang menyapu dunia minggu lalu (akhir Oktober 1997 – pen). Akhir 1996, delapan bulan sebelum Thailand akhirnya menyerah dan mendevaluasi baht, sekelompok “serigala” telah berkeliaran. Mereka melihat perekonomian Thailand bukan sebagai salah satu harimau Asia, tapi lebih seperti mangsa yang terluka. Setiap pemangsa mulai merencanakan serangan. "Dengan memusnahkan mereka yang lemah dan sakit, kami membantu menjaga kesehatan kawanan," kata spekulan itu. Dan pemusnahan pun mereka lakukan. Melalui wawancara dengan anggota“serigala” ini, majalah TIME telah merekonstruksi kisah tentang bagaimana para spekulan melahap mata uang Thailand dan menggerakkan krisis yang sedang berlangsung serta menyebabkan trauma keuangan di seluruh dunia.

Tidak hanya itu, artikel tersebut mendeskripsikan secara jelas bagaimana cara mereka menghancurkan baht :

“Serigala, sebuah kelompok tanpa bentukyang mencakup pembendungan dana rahasiasertakelompok di dalambankterkemuka sepertiCitibank (Citibank adalah salah satu dari bank custodian Quantum Fund milik Soros), mulai melacakregional Asia Tenggara secara sungguh-sungguhpada tahun 1994. EkonomPaul Krugmanmenggelitik minatspekulanketika iamenerbitkan sebuah artikeldi Foreign Affaris yangberjudul"The Myth of Asia's Miracle," di mana ia berpendapatbahwa boomingAsia memerlukan lebih kerjakeras danpergeseran daripertanianke industriuntuk berinvestasi dalamproduksi.Sebagianspekulanyang membaca artikel Krugmanmengatakan,"Kami membacaini dan berpikir, 'Well, well, pertumbuhan Asiamungkin memilikibatas."

Mengetahui mangsanya telah terpojok oleh sogokan mereka sendiri, para serigala memulai intriknya di awal tahun 1997. Pelaku hedge fund seperti George Soros dan Julian Robertson mengintensifkan serangan mereka pada baht. Salah satu cara para spekulan bertaruh menyerang sebuah mata uang yaitu dengan memasuki kontrak dengan para dealer yang akan memberikan dolar sebagai imbalan atas kesepakatan untuk pembayaran sejumlah tertentu baht dalam beberapa bulan ke depan. Jika nilai baht naik, penjual kontrak mencairkan uang, tetapi jika jatuh, pembeli diuntungkan karena ia bisa membayar kontrak dengan nilai baht yang lebih murah. Permintaan kontrak tersebut mulai menaikkan suku bunga, dan Bank of Thailand mulai mengeluarkan banyak kontrak itu sendiri.

[caption id="attachment_353345" align="aligncenter" width="300" caption="Artikel Majalah TIME yang mengungkap pengakuan para Spekulan dalam menciptakan Krismon di ASEAN"][/caption]

Melalui spekulasi di bursa, Quantum Fund, lembaga finansial milik Soros berhasil meraup untung $1.2 trilyun. Dia bertaruh jangka pendek melawan baht Thailand,Peso Filipina, rupiah Indonesia, dan ringgit Malaysia, menyebabkan mata uang-mata uang tersebut jatuh hingga 40-70%, meruntuhkan pasar saham, dan memusnahkan cadangan devisa.

Thanong Khanthong, seorang wartawan ekonomi yang meneliti keterlibatan Soros dalam krisis Baht, mengutip pernyataan mantan pejabat Bank of Thailand. Pejabat tersebut mengatakan bahwa Quantum Fund menggunakan US$700 juta (29.7 milyar Baht) dari total $12 milyar untuk ditaruhkan melawan baht. Soros dibantu dua asisten topnya : Stan Druckenmiller dan Rodney Jones.

Masih menurut Thanong, musuh utama Bank Sentral Thailand adalah Julian Robertson, yang melalui Tiger Fund bertaruh sebesar $3 milyar melawan baht. Kolega Julian adalah Bruce Kovner dan Lee Cooperman. Dealer dan operator yang lain bertaruh di pasar mata uang termasuk Goldman Sachs, JP Morgan, Citibank, dan BZW. Bandid Nijatha yang kemudian menjabat kepala departemen perbankang Bank of Thailand (Bank Sentral Thailand) mengidentifikasi Morgan Stanley turut terlibat.

Di Indonesia, tepatnya bulan Januari 1997, ketika rupiah mengalami fluktuasi tak terkendali antara 7.100 – 7.800 per dollar dalam satu hari, dua bank Indonesia membeli rupiah dalam jumlah besar, tindakan tersebut berhasil menurutkan rate kurs di bawah 7.000 untuk sementara. Anehnya, Far Eastern Economic Review mengkritik upaya pemerintah Indonesia menyelamatkan perekonomian negaranya sendiri dengan menyebutnya sebagai "upaya terang-terangan untuk mendistorsi pasar." Tindakan Indonesia ini pun membuat marah para spekulan : dalam beberapa hari rupiah jatuh lebih dari 8.000 terhadap dolar, dan lebih dari 10.000 pada pertengahan Maret 1997.

Krisis moneter buatan yang mendera Indonesia saat itu berhasil melengserkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Analisa di balik jatuhnya Soeharto pun memiliki nuansa pemahaman baru. Ada pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar "Soeharto jatuh karena krisis ekonomi". Mereka berpendapat "Soeharto jatuh karena IMF?" Pendapat ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System (CBS) dari Amerika Serikat.

Menurut ahli ekonomi dari John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. Ini dibuktikan dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus sendiri.

Dalam wawancara "perpisahan" sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia. "Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun," ujarnya.

Ada satu pengalaman menarik yang saya alami ketika Krismon 98 lalu, saat itu saya hendak melaksanakan Tugas Akhir kuliah (TA), ditengah kisruh politik pelengseran Soeharto dan Krismon, jelas menyelesaikan TA sangat tidak mudah. Saat itu saya mendengar di Media pernyataan Sofyan Wanandi :

"Jika Habiebie jadi Presiden RI, maka dollar akan naek jadi 15 ribu!"

Benar saja, ketika Habiebie naik menjadi Presiden RI hasil SI MPR 1998, dollar mulai merangkak naik jadi 15 ribu, bahkan sempat menyentuh 17 ribu.Saya yang memerlukan bahan-bahan untuk TA cukup kerepotan dengan membengkaknya harga peralatan TA seperti kertas kalkir, rapidho, dll. Bahkan biaya sebagai anak kost pun jadi membengkak.

Pernyataan Sofyan Wanandi itu memantik kekritisan saya, "Apa hubungan Sofyan Wanandi dengan Krisis Moneter 98?" Kenapa pengusaha yang Tim Sukses Jokowi-JK, dan sohib kental Jusuf Kalla itu bisa dengan tepat memprediksi (atau merekayasa?) kenaikan harga dollar?


Bagi saya, Sofyan Wanandi adalah salah satu sosok yang patut diwaspadai dan dicermati pergerakannya. Mengingat dia sejak lama cukup licin dalam setiap fase politik yang ada di NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun