Cerita Penggulingan. Kisah ini saya ambil dari perjalanan politik Adolf Hitler.
Hitler adalah tipikal orang yang mampu mempengaruhi banyak orang dengan gaya orasinya, nadanya tidak pernah rendah ketika berorasi, nampak seperti kesetanan jika berpidato (dilain sisi dia sangat lembut pada wanita, meski pada babunya sendiri).
Hal yang paling ia benci adalah Yahudi, ia mengimani bahwa segala keterpurukan rakyat Jerman pada masanya adalah karena dominasi Yahudi sampai pada kebijakan negara. Kebencian pada Yahudi ini berhasil ia jadikan semangat politiknya, ia percaya Komunis adalah Karl Marx, dan Marx adalah Yahudi.
Satu momentum, dimana puncak keinginan dia ingin sekali berkuasa, sekaligus mengusir musuhnya, dia hasutlah banyak orang hingga petinggi militer untuk mengkudeta pemerintahan yang sah, singkat cerita proses kudetanya gagal total, Ia pun dipenjara. Tapi Hitler tetaplah Hitler, tekadnya bulat bahwa apa yang ia lalukan adalah benar dalam penafsiranya sendiri. Dihadapan meja pengadilan ia mampu membela diri dan membius banyak orang bahwa perlakuannya (kudeta) itu untuk kesejahteraan warga Jerman asil (bumi putera), sampai si hakim pun angguk-angguk kagum dengan pembelaannya. Vonis pun dijatuhkan selama lima tahun dengan keringanan sebagai tahanan politik.
Pasca Ia dipenjara Hitler tidak pernah lupa dengan visinya, tekadnya bulat dominasi Yahudi harus diatasi. Kepemimpinan harus ia pegang tapi tidak dengan kudeta meliankan bertarung di Parlemen. Perlahan tapi pasti, Partai Nazi yang ia rintis menjadi partai penguasa, hingga ia benar-benar menjadi pemimpin besar, daratan Eropa mulai ia kuasai, Jerman bergitu disegani karena Hitler, sampai tiba waktunya ia tumbang dan bunuh diri.
Apa yang ditunjukkan oleh Adolf Hitler adalah satu pelajaran, Ia setia pada visi hidupnya. Terpuruk, jatuh, kalah, dikhianati, diasingkan, terasingkan semuanya tidak menghapus ingatannya untuk mencapai apa yang ia inginkan. Meski visinya itu terlahir dari pengalaman empirik yang pahit, tapi ia sadar.
Apa yang ku ilhami dari urian ini, adalah Perahan Visi, yang diajarkan oleh Seniorku, "Dimana ada usaha, disitu ada jalan" terkonek dengan prinsip capaian yang ia ajarkan, "segala cara dan alat dimungkinkan untuk tujuan". Hal ini saya cerna dengan baik dari kisah Hetler dan Visinya. Semua problematika yang Hitler hadapi tidak merubah arah visinya, tapi merubah cara pandang dari mencapi visinya perlu ia kendalikan.
Kudeta adalah cara dan alat mengendalikan kekuasaan, tapi Menang adalah ujung dari proses pejuangan, gagal mengkudeta bukan untuk menggagalkan kemenagan kita dikemudian hari.