Mohon tunggu...
Diajeng Ashkia
Diajeng Ashkia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Political science student interested in consulting.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Rakyat dan Haknya dalam Penegakan Electoral Integrity

3 November 2021   19:30 Diperbarui: 3 November 2021   19:57 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Secara ideal, ketika suatu pemilu berjalan dengan baik, hal itu dapat menentukan pihak yang berwenang atas pemegang jabatan dan pemerintahan, menentukan prioritas kebijakan, menghubungkan warga (sebagai suara) dengan para wakil (sebagai agen), menghasilkan sistem legislatif yang inklusif, memberikan legitimasi pada otoritas terpilih, meminta pertanggungjawaban pemimpin, dan memberikan kesempatan utama bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik. 

Sayangnya, pelaksanaan pemilu baik di Indonesia sendiri, maupun di berbagai negara lainnya seringkali gagal untuk memenuhi cita-cita ini; media independen diberangus, data penduduk potensial pemilih pemilu yang tidak up to date, maraknya penyogokan, money politics yang merajalela, dan praktik-praktik kotor lainnya yang menodai terlaksananya sebuah pemilu yang berintegritas. 

Praktik-praktik kotor tersebut merupakan faktor-faktor pendukung dari terjadinya sebuah flawed election yang berpotensi fatal terhadap penegakan sistem demokrasi dalam suatu negara. Dampak dari terjadinya flawed election pun begitu besar terhadap semakin menurunnya kepercayaan masyarakat dari tahun ke tahun terhadap sistem keadilan dan para wakil yang kelak nantinya akan merepresentasikan mereka di bangku parlemen.

Tidak diragukan lagi bahwa flawed elections dan malpraktik pemilu secara intrinsik merupakan sebuah isu yang begitu konsekuensial terhadap prinsip yang dijunjung oleh sistem demokrasi, di mana mereka melanggar kewajiban, komitmen, dan prinsip-prinsip pemilu demokratis dalam instrument hak asasi manusia, baik dalam lingkup regional maupun universal. 

Sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 bahwa "kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintahan; ini akan diekspresikan dalam pemilihan berkala dan murni yang akan dilakukan dengan hak pilih yang universal dan setara dan akan diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan bebas yang setara", dimana pernyataan tersebut menjamin setiap orang atas "hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dalam negaranya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas". 

Alhasil, perlu adanya rasa kesadaran masyarakat terhadap betapa pentingnya hak mereka yang telah diatur dan dilindungi sedemikian rupa dalam Deklarasi HAM untuk dijunjung tinggi serta direkognisi oleh pihak pemerintah terkait perilaku-perilaku kandidat pemilu yang dapat mengancam keutuhan hak-hak tersebut.

 Electoral integrity atau pemilu berintegritas sangat dibutuhkan sebab masyarakat, sebagai suatu kesatuan dinamis yang berperan sebagai pemegang kekuasaan yang seutuhnya (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat) membutuhkan sebuah landasan kepercayaan. Kata 'integritas' itu sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna, "mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, atau kejujuran. 

Maka, dapat penulis simpulkan bahwa pemilu berintegritas merupakan pemilu yang terselenggara dengan penuh tanggung jawab, komitmen, serta kejujuran. Prinsip pemilu di Indonesia sendiri telah diatur dalam Prinsip Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil). Sebab, masyarakat, sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan yang demokratis membutuhkan rasa sekuritas dan kepercayaan yang dapat dijamin keberadaannya, baik dalam keadaan pra-pemilu, dan terutama pasca-pemilu, dimana kebijakan-kebijakan yang terlahir dari sistem legislatif dan eksekutif dapat dirasakan secara langsung.

Mengangkat sebuah studi kasus yang berdasar pada pemilihan umum Indonesia, yakni tepatnya pemilu 2019, dimana berdasarkan standar penilaian atau asas pemilu berintegritas, terdapat empat faktor yang dapat kita jadikan sebagai tolak ukur penilaian kita, yaitu 1) Ethical behavior; 2) Fairness; 3) Impartiality; dan 4) Transparency and accountability. 

Jika mengacu pada faktor pertama penilaian, pelaksanaan pemilu 2019 nyatanya masih terjadi banyak pelanggaran kode etik mengenai profesionalitas dan aspek tertib administrasi (dikutip dari dkpp.go.id), seperti soal akses data informasi, ketidakcocokan data perolehan suara peserta pemilu dengan pemilih, dsb. Adapun, dalam tata pelaksanaan pemilu 2019, KPU diduga bersikap tidak netral dan justru berpihak pada salah satu paslon. 

Akan tetapi, berdasarkan bukti dari DKPP, nyatanya tidak ditemukan adanya sikap keberpihakan KPU secara konkret terhadap paslon 1 maupun paslon 2. Kemudian, dalam pemilu 2019 juga mendapatkan keluhan mengenai dana kampanye pemilu, dimana mayoritas peserta pemilu hanya melaporkan dana kampanye sebagai bentuk formalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun