Mohon tunggu...
Diah Woro Susanti
Diah Woro Susanti Mohon Tunggu... Full Time Blogger - blogger

Blogger, Writer, Crafter FB : Diah Woro Susanti Twitter/Ig : @mba_diahworo Email : Diahworosusanti@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Membatik di Sentra Batik Betawi Terogong

15 Desember 2019   13:23 Diperbarui: 15 Desember 2019   13:28 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta adalah sebuah rasa yang membuat kita tidak berhenti mengingat...

Saya berdiri sejenak di depan lemari ibu. Perlahan-lahan kemudian saya membuka pintunya. Suaranya berderit masih sama seperti dulu. Bersamaan dengan itu wangi kamper pun menyeruak. Dalam hitungan detik saya langsung teringat kain-kain batik ibu. Sepertinya itulah mungkin pertanda saya sedang jatuh cinta dengan kain batik. 

Awal kecintaan saya terhadap batik bermula dari  kakak pertama saya, Mba Wid. Dia adalah orang yang mengajak saya ikut latihan nari di sanggar tari Jawa klasik waktu saya kecil. Setiap latihan, kan, murid-muridnya diwajibkan mengenakan kain jarik dan selendang. Selendangnya pun bukan selendang yang biasa dikenakan ibu sebagai penunjang busana kebayanya. Tapi selendang khusus untuk nari. Namanya selendang cinde yang panjangnya sekitar 2,5 meter. Saking panjangnya selendang cinde akan membuat gerakan kibasan selendang jadi semakin indah dilihat. 

Sedangkan untuk bawahannya, murid-murid dibiasakan mengenakan kain jarik yang membalut pinggang sampai kaki. Itu sebenarnya bikin gerakan  jadi terbatas. Setiap langkah harus pendek-pendek karena mana bisa melangkah lebar, kan dibatasi kain. Gerakan yang selaras dengan alunan gending dari kaset yang diputar maksudnya agar setiap gerakan tari jadi terlihat lebih gemulai. 

Kenangan yang bisa saya ingat selanjutnya adalah kain-kain jarik ibu. Saya sering memandang tanpa berkedip gerak gerik ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi kondangan (baca : resepsi). Saya pun masih ingat setiap tahapannya. Pertama ibu akan mengenakan kain jarik yang sudah diwiru seperti kipas, dilanjutkan dengan mengenakan stagen dan ditutupi lagi dengan angkin (selendang tipis seperti satin supaya terlihat glamour).

Setelah selesai di bagian bawah selanjutnya ibu akan mengenakan kebaya dan selendang. Terakhir ibu akan mengenakan cemara (baca : rambut palsu yang modelnya seperti ikat buntut kuda dengan panjang sekitar semeter) yang disatukan dengan rambutnya lalu menggelungnya. Tidak sampai satu menit gelungan konde siap mempercantik rambut ibu. Untuk finishing touch ibu kemudian menusukkan dua tusuk konde di sisi kiri kanan sanggul, menyematkan bros di dada kiri supaya selendang yang tersampir di bahunya tetap rapi lalu mengenakan selop. Seketika ibu jadi terlihat anggun dan feminin.

Kemarin waktu saya dan teman-teman komunitas Ladiesiana bertandang ke sentra Batik Betawi Terogong kenangan saya akan batik-batik di lemari ibu muncul lagi. Sayang sekali sekarang batik-batik ibu hanya menjadi penghuni lemari saja. Ibu yang sekarang sudah sepuh sudah tak mampu lagi mengenakannya. Padahal kalau ingat cerita ibu dan mbak Wid, batik koleksi ibu banyak macamnya. Semua ada filosofinya. Bahkan katanya kain batik yang saya gunakan waktu akad nikah dengan ayahnya anak-anak juga punya arti. 

Asal Mula Batik Betawi Terogong

Dari situ saya paham bahwa batik ada kaitannya dengan sejarah. Seperti di Terogong, misalnya. Di bilangan Cipete, Jakarta Selatan dulu juga ada sentra Batik. Seperti dikisahkan ibu Siti Laela, selaku founder Batik Betawi Terogong, dirinya mungkin satu-satunya orang yang masih merasakan kebiasaan masyarakat di kampung Terogong kala itu. Setiap hari, sehabis bertani, ibu-ibu akan membatik di rumahnya. Kainnya dibeli di daerah Palmerah dan Tanah Abang lalu ibu-ibu akan membatik untuk mengisi waktu luangnya.

Namun sayangnya, pelahan-lahan, batik Betawi menghilang. Kala itu, mungkin masyarakat Betawi berpikir bahwa membatik adalah pekerjaan kuno. Kalah sama batik print yang harganya murah dan pengerjaannya cepat. Ketika ibu Siti Laela semakin besar, kurang lebih tahun 1970-an batik Betawi benar-benar punah. Sekarang batik identik dengan masyarakat Jawa sedangkan orang Betawi lebih dikenal dengan atraksi silat dan lenongnya. 

Kenangan masa kecilnya dan keinginan kuatnya untuk melestarikan batik Betawi kemudian bu Laela menggagas berdirinya Batik Betawi Terogong. Sebelumnya dirinya telah membaca banyak referensi yang menguatkan keyakinannya bahwa Batik Betawi sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan, ,enurutnya, di jaman VOC pun Batik Betawi sempat menjadi industri besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun