Pandemi mengajarkan kita bahwa sebagai insan manusia, bukan semata diciptakan sebagai makhluk sosial. Lebih dari itu.
Tuhan memberikan akal pikiran dan hati nurani yang kadang tak seiring sejalan. Tapi, fitrah manusia untuk selalu mencari kebahagiaan akan selalu menuntun untuk meraihnya. Bagaimana caranya? Menjadi manusia yang adaptif. Yup, selalu beradaptasi dan terbuka dengan perubahan.
***
Teringat masa ketika bersekolah secara tatap muka. Rindu sekali dengan para generasi muda ini. Selalu saja antusias belajar dengan polosnya.
Suatu pagi, dalam riuh kelas yang mengalahkan riuhnya sebuah mal. Langsung mereka kuajak berdoa lanjut menyanyikan Indonesia Raya.Â
Ketika harus membangun konteks, ada seorang yang nyeletuk berkata, "Wah, sepatunya Bu Diah baru, yaaa?" dengan ekspresi senyum saya menjawab, "Ah, kau ini, ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana, ajining suku saka sepatu, le.....," jawabku berfilosofi.Â
Hingga akhirnya, jatah apersepsi dg waktu 15 menit harus molor hingga setengah jam. Dengan akhir kalimat yang begitu indah diucapkan tapi begitu berat diwujudkan.
"Anakku, setiap orang tua menginginkan anaknya, hidup lebih baik dari dirinya, demikian juga dengan gurumu. Kami akan lebih bahagia melihat anak didiknya lebih sukses dari gurunya.
***
Yaaa, saat itu, perjuangan mereka dimulai dari ruang keluarga dan ruang kelas yang selalu seiring selaras.