Secara global, angka persebaran HIV dengan prevalensi 25% ada pada kaum wanita muda dan anak remaja di rentang usia 15-24 tahun. Pada dimensi ini pula anak remaja dan kaum hawa beresiko dua kali lipat terjangkit AIDS lebih tinggi dari kaum adam.Â
Sungguh kenyataan yang pahit dan memprihatinkan. Lantas bagaimana dengan Indonesia?Â
Di Indonesia, wacana mengenai HIV hanya sampai pada tataran sebagai patogen yang menular dan epideminya harus segera dihentikan. Wacana kesehatan mental sangat jarang diangkat ke permukaan.Â
Sedangkan penanganan di bidang kesehatan mental belum dapat dikatakan berimbang. Masih berasa jauh dari aturan yang termuat pada UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.Â
Penanganan bagi para penderita terinfeksi HIV AIDS sejauh ini hanya dilakukan sejauh pengobatan biologis psikiatri. Artinya, bagi penderita AIDS yang terdampak depresi, mereka hanya akan diberikan obat antidepresan atau obat antipsikotik.Â
Bukan pada pendekatan perubahan perilaku. Sementara, pendampingan secara psikologis pun belum nampak membudaya.Â
Beban mental penderita HIV-AIDS didorong pula oleh suburnya stigmatisasi terhadap para penderita, yang masih melekat kuat di masyarakat.Â
Pada umumnya terjadi beberapa dampak psikologis pada seseorang yang terdiagnosa positif terinfeksi HIV-AIDS.Â
1. Penerimaan status diri sendiri sebagai seseorang yang positif HIV-AIDS.Â
Terdapat beragam respon seseorang dalam tahap penerimaan diri ini. Biasanya seseorang akan melakukan penyangkalan (denial) pada fakta yang sedang terjadi.Â
Ada yang dapat melakukan penyesuaian hidup yang lebih cepat setelah menerima diagnosa. Namun, ada pula yang merasa tertekan, bersalah, malu, maupun  kesepian.Â