Untuk kekasih yang mendiami kelopak hari-hariku.Â
Apa kabarmu? Apakah kau baik? Atau kau sedang terserang rindu? Sama... aku pun begitu. Semalaman aku tak bertemu pagi. Aku ingin menyudahi malam kemarin.Â
Sudahi malam, inginku agar ia mau berganti pagi. Lagi.Â
Kembali mendengar dering nada panggilmu, atau sejenak menikmati sapa indah yang membangunkanku.Â
Malam musim ini terlampau dingin. Aku tahu kau pasti mengerti. Bukankah kau pun pernah mengusap air mata yang mengalir dari mata keringku? Oh, aku benci mengingatnya. Tapi, aku selalu tak berdaya, ketika ingatan tentangmu menggenangi kepalaku.Â
Aku mengingat bulir-bulir air hujan. Aku mengingat bau kopimu. Aku mengingat cerita tawamu. Aku mengingat tentang kita. Kita yang indah. Kau dan aku.Â
Ya, November yang lalu. Usai hujanmu merinai, membasahi Rue Montorgueil. Kaki kita melangkah, memenuhi jalanan Paris yang penuh dengan aroma cinnamon.Â
Dengan secuil croissant dari kedai kecil yang menampung kita. Takada janji apapun malam itu. Takada ikrar apapun. Hanya kau, aku, dan air yang menghujani kedai.Â
Tidakkah kau ingat, jemarimu di sela jemariku. Engkau memungut waktu. Meminjamnya sebentar. Melihat ke dalam bola mataku. Kau membunuhku, kala itu. Sejuta syairku runtuh!Â
Sebutir asmara bening mengaliri batin kita.Â