Kulihat surya mulai penat merayap di pelupuk barat mata hari. Rembangnya telah meredup dan semakin terganti. Jauh di sebelah barat, semburat jingga mulai tumbuh.
Sebuah layung yang usianya hanya sebatas mengantar siang pada jumbai malam.
Kembali di atas motor matic aku membelah jalanan. Kabut kota masih saja menyelimuti senja. Kata mereka senja begitu memesona. Mengapa aku tidak percaya? Mungkin karena Sukab telah mengambilnya sepotong. Dasar Sukab!
Pantas saja Alina mengutuknya dengan khidmat. Bodoh sekali kau, Sukab.
Oh, maaf, tentu saja aku membacanya. Sekumpulan aksara membangun prosa sepotong senja milik Seno Gumira Ajidarma.
Kini senja yang di hadapanku hanya sepotong waktu penuh debu dan asap hitam. Sekumpulan kepul buangan solar dari truk padat muatan melebihi kapasitas normal.Â
Belum lagi asap dari bus yang rajin berderet dengan angkutan kota, bersama dengan mobil pribadi berplat hitam, kuning, merah, dan kadang ada yang putih berlomba berebut urutan. Urutan berasap....
Sering pula mereka terbatuk, "Uhuk! Uhuk!!" Bedanya, asap solar terlihat jelas sedang BBM yang kualitas tinggi tak nampak di udara. Padahal sama saja. Sama-sama terbaca: polutan!
Gemintang langit angkasa raya mulai memancar mengganti sinaran surya yang kembali menitipkan langkahnya pada rembulan malam ini.
Lintang mulai memijar. Ia masih setia mengiring rembulan meski belum bulat purnama. Dan aku suka. Kuharap, sinarnya yang kecil mampu mereduksi segala resahku malam ini.
Resah tanpa notifikasi darimu lagi. Entah mengapa, kau perlahan memudar dan pergi. Seperti bintang di pagi hari.
Tapi sudahlah, tak apa. Aku hanya harus membiasakan diri. Seperti membiasakan diri saat kehilangan senja yang tertutup udara pengap, kabut kota.