Semoga aku bisa membeli sepetak rumah. Jauh dari kabut hitam kota yang menyebalkan. Itu saja.
Perjalanan membawaku mendekat sebuah simpang empat. Jalanan yang aspalnya mungkin telah lafal dicumbui ban motor matic-ku warisan Budhe Minah satu tahun yang lalu. Â
Di sepanjang jalan yang kulalui memang berkabut. Sepintas saja. Mungkin kebetulan mirip kabut. Kukira begitu. Kabut di kotaku sungguh berbau. Semakin hari semakin kotor. Penuh debu.
Pantas saja Ryu memilih pindah rumah ke pinggiran kota. Katanya di sana masih ada sawah. Masih ada angin sejuk. Masih banyak tumbuhan besar yang tidak sengaja ditanam. Bukan pula sintetis.
Ryu seorang wanita anggun. Ia sangat menikmati hidup. Semua rencananya sangat tertata. Semenjak kuliah kami berteman akrab, hingga kini anaknya sudah hampir empat. Saking akrabnya, ia seperti saudara pambareb untukku.
"Mungkin udara pinggir kota memberi dampak bagi kesuburan kandungannya." Itu kata Bu Dhe Minah dulu.
Udara siang semakin berasa pengap. Menyumbat langit yang tadinya putih menjadi agak kelabu. Setiap hari kendaraan bermotor bertambah ruah rasanya.
Belum lagi asap sate kambing Pak Bedjo menumpah begitu saja bak iklan gratis bagi setiap hidung bolong. Aku mendengus lurus. Sungguh percuma saja kubaluri tubuh dengan parfum mahal. Paling tidak dari kantongku yang tak cukup tebal.
Lalu harus bagaimana lagi? Udara kota begitu pelik mencekat paru-paru yang sedang berhemat udara bebas. Seharian penuh mulut dan hidung harus terbungkus masker. Ya, hanya ini cara paling aman bila ingin tetap aktif di kala wabah menjelajah. Â
Rindu rasanya bernapas bebas. Mengisi palung paru dengan nafas bebas dari Sang Pemberi. Sebuah tarikan udara yang dulu begitu kaya.
Gemintang langit angkasa raya mulai memudar diganti sinaran surya yang usai menitipkan langkahnya pada rembulan tadi malam.