Memandangi kemilau cahaya di tepi Sungai Seine, adalah rindu yang menjadi candu. Sungai yang membelah Perancis menjadi dua bagian, sebelah utara dan sebelah selatan membentang di hadapanku. Hmmmh, kapan Sungai Bengawan Solo bisa seindah ini.
Berjanji bertemu Elise, si gadis bertubuh gempal dengan kehangatan yang memancar dari dalam dirinya, membuatku selalu merasa nyaman, meski ia sering mengeluhkan tubuhnya yang penuh lemak, namun bagiku ia tetap gadis manis.
Bicara tentang lemak, gadis muda keturunan Perancis-Solo ini sungguh pemakan segala. Bagaimana tidak!Â
Katanya, "Kau tidak akan pernah menyangka, rempah Indonesiamu itu terlalu menyiksa lidahku," Hah?
Indonesiamu? Memangnya darah Solo dalam dirinya itu dari mana asalnya?
"Non, aku mencintainya. Mencintai rempah Indonesiamu," dasar kompeni, dari nasi rendang, kini mulutnya berjejal nasi tumpang kikil yang benar-benar melegenda.
"Dasar bule ndeso,"gumamku pelan.
"Apa?"mata sipitnya melotot, sedang mulut mungilnya berminyak, wajahnya memerah, keringat mulai membasahi rambut acak adulnya. Bergelas-gelas air putih diteguknya.Â
"Merde!! Ini pedas, sungguh!"mulut mungilnya benar-benar merah, bukan karena pewarna bibir. Aku segera menangkap sinyal ia nglethus, mengunyah cabe rawit utuh dari tumpang kikil.
Usai bertempur hangat dengan tumpang kikil, kami duduk berdua di sebuah bangku taman kota. Kulihat ia mengambil sesuatu dari tas sandangnya.Â
"Ini titipan dari Maman," aku sempat meliriknya. Sesuatu yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat polos.Â