Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Clairvoyant

16 September 2020   17:21 Diperbarui: 16 September 2020   19:47 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara air kran terdengar jelas. Terang saja, aku duduk disekat tembok dengan toilet. Bau amoniak segera menyeruak hidung. Suara sayup adzan subuh terdengar lirih dari ponsel milik salah seorang pasien yang berjarak selang satu bilik dengan bilik bapak.

Pukul 01:14 waktu menunjukkan dengan yakinnya via ponselku. Huh, bau tak sedap dari kamar mandi ini begitu menggangguku. Seandainya saja petugas kebersihan di rumah sakit ini sama cekatannya dengan pembantu di mall mewah yang berjajar di jalan-jalan protokol kota.

Cerita ini aku unggah saat mata tak mau terpejam meski sesaat. Aku mencoba keluar ruang bilik yang menampung lima pasien, termasuk Bapak. 

Ugh, pegal punggungku terasa begitu nyeri. Ranitidine lekat dalam saku celanaku. Siap untuk kuminum sebutir.

 Tapi, oh, perutku terasa perih nian. Kucoba keluar kamar. Dari balik dinding kaca rumah sakit, kulihat kerling lampu rumah penduduk. Membawaku pada ingatan setahun yang lalu, di atas bukit kala malam, bersamanya.... hmmm....masa lalu...menyisakan apa?

Kata guru meditasiku, biarkan pikiran itu datang, lalu lepaskan untuk pergi. Ah, itu tidak pernah berhasil denganku. Kata bliau, "Tidak apa, semua butuh proses "

Tuhan, ada apa denganku? Aku ingin segalanya usai. Apa maunya? Tiba-tiba datang, tiba-tiba pergi. Dasar pikiran!!

Sialan, perutku mulas lagi ! Ini sudah ke empat kalinya aku harus mondar-mandir toilet. Mana toilet rumah sakit tak mungkin syahdu layaknya di rumahku. Harus campur banyak orang. Bayang pun, orang sehat atau penyakitan, toiletnya cuman ada satu. Ya semacam,.... satu untuk semua... 

Karena jauh dari ruang opname Bapak, aku mencari bunker toilet terdekat untuk meluluskan panggilan alam. Selepas hajat alamiah kubuang, perut terasa sedikit lega. Di dekat pintu keluar, aku bertemu seorang ibu. Mungkin usianya sekitar 60 ke atas. Rambutnya putih, kulitnya pun pucat. Raut mukanya masam. Bibirnya mengerucut.

Aku mencoba tersenyum menyapa. Namun, lirikan kosong yang kuterima. Well, tak mengapa, aku bukan peminta balas jasa. Atau mungkin saja ibu itu sedang menikmati tuntutan semesta, sama sepertiku yang baru saja usai memenuhi panggilannya.

Kuurungkan niat ke kantin rumah sakit yang kata seorang kerabatku, masakan selat-nya terkenal seantero jagat. Aneh memang. Makanan luhur seagung selat Solo yang paling masyur kok ada di kantin rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun