"Joe, aku harus pulang sekarang. Pekerjaanku masih harus kuselesaikan. Kalau tidak, Tuan Flaming akan memecatku,"
"Lalu kenapa? Biar saja. Kau bisa di rumah, atau kita akan cari pekerjaan lain,"
"Joe, tolonglah. Jangan mulai lagi. Aku lelah. Makan malam kita selesai. Dan mungkin kau perlu tahu, kita sudahi saja hubungan ini,"
"Rachel, kau tak bisa...."
"Berikan kunci mobilnya sekarang. Dengan atau tanpamu, aku harus pulang. Sekarang," desak Rachel.
Joe ternyata masih duduk terdiam di meja makannya.
"Joe, tolonglah. Aku tidak ingin terus berada di tempat mengerikan ini," suara Rachel kini terdengar lebih keras. "Aku tidak ingin menghabiskan waktuku dan berakhir menjadi mayat di sini," untuk kali ini aku dan Josh saling berpandangan. Kami termangu mendengar Rachel berkata tentang "mayat".
Anehnya, Joe masih saja dengan tenang menikmati makanannya. Sepiring steak dengan sebotol anggur merah entah keluaran tahun berapa. Lalu dengan enggan ia mengambil kunci mobil dari sakunya.
Rachel segera pergi menyalakan mesin mobil di halaman kedai. Namun mobil itu tak segera menyala, apalagi bergerak meninggalkan tempat ini. Aku dan semua orang di situ menyaksikkan Joe yang terdiam, meski belum usai menikmati steak di piring sajinya.
Pelayan tua itu kembali mendekati Joe, sementara Rachel masih mencoba menyalakan mesin mobil.
"Mau kuambilkan secangkir teh hangat, Joe?" tanpa sepatah kata pun dari Joe, si pelayan tua dengan cepat pergi ke meja sajinya, lalu kembali sambil membawa secangkir teh hangat. Aneh, aku mampu mencium keharuman teh yang begitu menenangkan. Begitu hangat hingga mampu membuatku nyaman. Ini, sungguh aneh.