"Dia pacarku, Tuan. Dan yha, kami....kau tahu kan...sedikit pelukan, ciuman, dan....,"
"Uuugh. Menjijikkan!!" sahut si kurus berkacamata yang kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.
"Kau benar, Tuan. Dia memang menjijikkan," bisik Josh lirih. Kuinjak kakinya sekuat tenagaku, lalu kutinggalkan dia. "Aduh, hhhh dasar wanita menyebalkan. Hei tunggu!"
Kami kembali ke meja. Jelas makanan kami sudah habis. Tapi, rasa penasaranku pada mayat di gudang belakang belum terbayar. Sementara itu, hujan bertambah lebat. Hanya kedai inilah tempat teraman dan ternyaman kami untuk berteduh.
Dua lelaki yang semula bertemu kami di dekat gudang, kini kembali duduk di dekat jendela kedai, sesekali mereka menengok ke arah luar kedai. Entah apa yang mereka cari, yang pasti raut mereka berdua tampak begitu gelisah.
"Masih hujan, Carlo. Sebaiknya kita di sini dulu," kata salah satu dari dua orang di dekat jendela. Pria jangkung yang bertabrakan denganku tadi ternyata bernama Carlo. Ia hanya terdiam. Orang yang cukup tenang. Atau memang dia benar-benar tak memperdulikan sekitarnya.
Mesin pemutar musik telah berhenti. Tidak seorang pun beranjak dari tempat kami masing-masing. Gadis remaja itu masih duduk di dekat meja pelayan menikmati segelas susu hangatnya.
"Apa rencanamu?" Josh terdiam lama. Matanya bergerak ke kanan lalu ke kiri. Ia tak menjawab sepatah kata pun. "Josh!!" gertakku. Tetap saja ia acuh. Diam. Bergeming.
Ia menggeser tempat duduknya mendekatiku. Tanpa sepatah kata pun ia tetap saja mendekat semakin erat. Kubiarkan saja ia bertingkah aneh. Josh selalu bertingkah aneh bila ia sedang gelisah.
"Aku ingin pulang sekarang,"sahut wanita muda yang duduk bersama suaminya.
"Rachel, tunggu!" cegah sang suami. "Lihat, hujan turun semakin deras. Mobil kita tidak akan bisa melewati hujan ini, sayang," bujuknya.