Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Aku, Kau, dan Diya [Part 2: Kenang Mei '98]

12 Mei 2020   12:12 Diperbarui: 12 Mei 2020   12:13 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aksi demo mahasiswa 12 Mei 1998 (sumber: Wikipedia)

"Lorem ipsum", keywords yang menyulitkan dari Ryu. Dasar perempuan jutek. Sok kuat. Perempuan penuh misteri. Sayangnya, kali ini Devara harus menyerah pada mau Ryu. Demi pekerjaan, atau demi pengakuan rasa kagum yang selalu meluap dalam hatinya? Entahlah.

Serumpun fakta coba Devara gali lebih dalam. Kata-kata Ryu masih mendiami lubang misteri logikanya. Wanita itu be toogitu misterius. Devara mengerti benar ada sesuatu yang disembunyikan perempuan berambut ikal.

Semenjak Rafli dengan kasus tunangannya yang hamil, Ryu bersikap semakin aneh. Mengapa? Toh itu kasus yang biasa. Tak ada istimewanya. Mungkin Rafli terlalu melebih-lebihkan perkaranya. Mengapa juga, Rafli harus susah payah mencari lelaki bejat yang menghamili tunangannya, kemudian pergi menghilang entah ke mana.

Bisa saja Devara tahu dengan cepat siapa lelaki. Namun kasus yang hampir mirip orang hilang ini membuat Devara malas mengurusi kasus hasil aduan Rafli. "Aku kasihan sama Via, Dev," kata Rafli sesaat yang lalu. 

Devara sempat sangat ingin bertemu Via. Perempuan yang membuat Rafli bertekuk lutut menghamba cinta darinya. Tetapi bayangan Ryu dan kasus si hacker bank ini lebih menarik baginya. Ia sendiri juga tak mengerti Mana yang membuatnya tertarik. Entah kasus ini ataukah Ryu, perempuan yang hasil investigasinya selalu membuat Devara mengibarkan bendera putih.

"Bos, ini berkas yang diminta kemarin," sahut seorang pria bertubuh gempal, dengan kumis bak bulan sabit tertutup awan melintang di atas bibirnya yang agak tebal. Tumpukan berkas di atas troli kecil didorongnya ke ruang arsip.

Devara memandang pria gempal tersebut memasukkan arsip ke dalam rak kontainer besi yang tertutup rapat.

"Jaman sudah berubah, manusia tak ingin beranjak berubah," sahut pria gempal dari ujung lorong ruang arsip. "Coba bayangkan, harusnya kita punya komputer buat arsip., Semua pasti lebih mudah."

Devara acuh. Pikirannya masih terus menelanjangi "Lipsum" milik Ryu. Kepalanya begitu pening. Disulutnya sebatang rokok penghilang penat. Kopi hitam panas di mejanya makin mengendapkan ampasnya. Disesapnya sedikit kopi hitam yang semakin dingin itu.

Satu nama tertera pada lembar pertama arsip di tangannya. Pratama Adiwijaya. Tak banyak informasi yang ia dapatkan dari arsip lama itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun