"Puteri Sherin yang akan menyudahi segalanya, ia dan garis hidupnya, akan mengubah segalanya, seperti telah ditulis dalam kitab kita," jelas Tuan Langboard.
Aku melihat Ayahanda memalingkan muka, menatap ke arah lautan yang memantulkan warna merah ke angkasa.
"Ayah,..." panggilku sambil menghampiri wajah yang telah lesu dihantam lelah yang bertubi-tubi.
Ia memelukku, erat, sangat erat. Kegentaran seorang ksatria menghampirinya, menetes melelui sebutir air mata yang tak kuasa dibendung olehnya.
Kulepas pelukan Ayah. Aku berdiri di atas benteng Carlyle yang paling tinggi. Aku berdiri tanpa senjata apa pun. Hanya aku.
"Kau ...Cornicus...aku, Sherin, telah mendengar semua kata-katamu, sungguh kasihan kau. Kesakitanmu segera musnah. Akan kutunjukkan padamu dendamu hanya sia-sia... Kemanapun kau pergi, kau tak kan mampu ingkari...."tiba-tiba tubuhku melayang di udara.
Aku terbang di atas medan pertempuran. Tubuhku ditarik ke arah makhluk yang kupanggil Cornicus. Mukanya merah, matanya seperti api, hendak membakarku hidup-hidup. Aku menatapnya.
Kegentaran yang semula menaungiku menjadi hilang, menyatu di dalam bara keberanian yang entah datang dari mana, kini menghampiriku, memenuhiku.
"Kau, makhluk lemah. Apa maksud mereka yang berkata, kau adalah penentu akhir hidupku?" tangan Cornicus mencengkeram tubuhku erat. Bahkan aku merasakan beberapa tulangku mulai retak.
"Kesombonganmu adalah titik lemahmu, Cornicus. Tak ada gunanya kau membalas dendam. Aku sudah tahu segalanya.
"Tentang ibumu yang seorang malaikat, dan ayahmu yang seorang iblis. Kau diragukan, kau dibuang, dikucilkan, dihina, dan dendam menutupi matamu, saat ini," kulihat ke dalam matanya, sesaat api di dalam matanya meredup, namun segera menyala merah dan mengeluarkan api.