Tuan Langboard menatapku tajam. Didekatinyalah aku yang berdiri bergeming. Aku merasa sangat gentar berhadapan dengannya.
Tetapi aku merasakan tatapan tajamnya berubah menjadi teduh, penuh welas asih. Seakan ingin menghalau segala kegelisahan dan kegentaran dalam hatiku.
Lalu tiba di hadapanku, ia berlutut, kedua tungkai kaki dilipatnya. Ia bersujud dengan tongkat yang tegak, menjadi pegangannya. Seakan kakinya terlalu lemah, tak kuat menahan beban tubuhnya.
Dengan kepala tertunduk, ia berkata, "Tuanku Puteri, mari ikut hamba. Waktunya telah tiba. Kita harus segera pergi ke Kerajaan Saverian. Pasukan Kerajaan Lumira telah mengepung benteng Carlyle,"
"Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya mampu memegang pedang. Itupun tak seberapa, dan aku juga ikut dalam peperangan ini, Tuan?" tanyaku dengan kegentaran yang makin mengikat setiap pembuluh darahku.
"Bersama hambamu ini, Tuanku Puteri, " Thea memberanikan diri menyahut pembicaraan kami. Ia pun ikut bersujud di hadapanku.
Tak lama kemudian aku berada di tepian lautan. Angin panas menerpa wajahku. Langit berwarna jingga dengan seburat merah layaknya darah. Laut tanpa ombak. Sangat tenang. Seperti cermin raksasa yang memantulkan warna angkasa.
Baju zirah kini melekat pada tubuhku. Kulihat dari benteng Carlyle, pasukan Saverian berbaris rapi, panji-panji berkibar seolah mendirikan satu tekad bulat  Kerajaan untuk melawan barisan pasukan Lumira.
Di sepanjang garis horison cakrawala, aku melihat sekumpulan binatang-binatang aneh muncul dari kedalaman samudera. Ada seekor ikan dengan mulut yang penuh dengan gigi taring melompat ke udara, terbang sebentar dengan sayapnya kemudian tenggelam kembali ke dasar laut.
Lalu muncul sebentuk monster, giginya seperti pedang yang tajam. Hidung besarnya seperti gua kecil yang berlendir, badannya yang begitu besar hampir menutupi sebagian barisan monster lain di belakangnya.
"Pemandangan yang mengerikan bukan?" sahut seseorang di belakangku.