Jalanan menuju kastil Pangeran Alvar masih sunyi. Bahkan hembusan nafas kuda penarik keretaku terdengar begitu jelas.
Embun pagi menetes menuruni pucuk daun demi pucuk daun yang lain. Embun penanda hari telah menjelang pagi, menyendiri menunaikan tugasnya membasahi dedaunan sebelum ia terusir oleh hangat sinar mentari.
Ditengah hutan , keretaku menyibak kabut penutup jalan. Sepanjang pandang dari jendela kereta, kulihat hutan pinus di ruas kiri dan kanan memagari jalanan, dengan debu yang ditinggalkan oleh derik suara roda kereta membelah jalanan dengan tanah dan tumbuhan liar di sekitarnya.
Thea berkuda di samping keretaku. Pacu kudanya terkadang mendahului kereta, namun terkadang berada di belakang bersama dua orang prajurit pengawal Kerajaan.
Nampak di ujung jalan, kastil Pangeran Alvar berdiri dengan gagahnya. Dipandu seorang prajurit setempat kami memasuki pintu gerbang menuju kastil kecil itu.
Pangeran Alvar menyukai hutan. Baginya pohon adalah nyawa bagi bernafasnya bumi.
"Itu penting, Tuanku Puteri. Pohon-pohon ini mulai habis ditebangi oleh kaum Nevirit. Dibuat rumah untuk mereka, tanah ladang, dan yang paling parah, ditebang hanya untuk beberapa uang koin saja," Pangeran Alvar menjemput dan mengantar kami ke sebuah taman yang sangat indah di belakang kastil.
Taman itu mempunyai pintu gerbang dari dedaunan ranting yang saling mengulir satu dengan yang lain. Di kanan dan kiri pintu gerbang terdapat dua pohon besar mengapit pintu yang terbentuk dari juntaian ranting.
Saat memasuki taman, sungguh suatu pemandangan nan menakjubkan. Di bagian tengah taman, ada ruang kristal berulir ke atas, bening seperti kaca. Kristal-kristal kecil dironce bergantungan bagai tirai menggantung begitu panjang dan menutupi ruang berulir di tempat tersebut.
Di suatu sudut teratas, ada semacam alat musik petik, seperti sebuah kecapi. Pangeran Alvar memainkan jemarinya yang lentik. Aku melihat setiap petikan dawai menerbangkan suara yang berwarna-warni beterbangan di angkasa, sangat indah.
Pangeran Alvar tersenyum melihatku menikmati warna-warni suara yang beterbangan, hingga aku ingin menangkap salah satu suara yang nakal menempel dan hinggap di pundakku, kemudian terbang lagi menyentuh pipi kananku.