Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mimpi di Saku Celana Toloy

16 Januari 2020   18:14 Diperbarui: 16 Januari 2020   18:11 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Toloy. Ah, entah mengapa ia dipanggil Toloy oleh teman-temannya. Padahal emaknya sudah menamainya dengan nama dari doa yang tulus. Ya, namanya Tulus. Jauh dari Toloy kan?

Berangkat dari rumah hanya memakai sandal jepit. Bukan mengapa, hanya saja sepatu sekolah yang dibelikan Emak kemarin selalu dijinjingnya, dan hanya dipakai di sekolah. Ia takut jika dipakai berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya, maka sepatu itu akan cepat rusak, seperti punya Rustam, kawan sedesanya.

Tapi sekarang takut menderanya, karena pantai di dekat rumahnya dikabarkan akan mengalami tsunami. Oh, sangat menyebalkan. Itu artinya seharian penuh, ia tak mungkin diijinkan Emak untuk bermain di pantai dengan Rustam.

Ia juga tak bisa bertemu dengan Upik. Gadis kecil yang senang sekali mengumpulkan kulit kerang, dan disusun menjadi barang-barang yang tak lazim. Ya, Upik hanya menyimpannya dalam kotak kaleng bekas roti kering lebaran yang dibagikan Pak Lurah tahun kemarin

Suatu saat Toloy begitu penasaran, lalu disembunyikannya kaleng roti Upik. Gadis kecil itu mencarinya kemana-mana. 

Mukanya begitu murung, ia berlati kesana kemari hanya untuk mencari kotak itu.
Sehari penuh mencarinya, namun gagal, akhirnya, Upik pulang menangis tanpa bisa bercerita pada orang tuanya. Malam harinya Upik demam. Panas badanya makin meninggi. Orangtuanya sangat kebingungan.

Dibawa ke dokter, namun tak juga didapati jenis penyakitnya. Hingga Emaknya mengira itu pekerjaan tetangga yang jahil dan menyantet Upik. Lalu Upik dibawa ke rumah Mbah Kerto, yang kata orang dusun, mbah Kerto itu orang pinter.

Tapi keheranan Toloy sempat mampir dalam benak sederhananya. Saat itu Toloy pernah bertanya tentang pelajaran IPA  yang diajarkan di sekolahnya pada mbah Kerto.

Tapi yang mengejutkan ternyata bukan jawaban yang diterima Toloy, tapi sapu lidi yang dilemparkan kepadanya sambil nyeletuk dengan amarahnya, "Dasar anak tak tahu diri," sapu melayang, sedang Toloy menghilang, lari ngibrit meninggalkan si embah yang mengatur nafasnya.

Upik tak segera sembuh di tangan mbah Kerto. Panas tubuhnya masih membelenggunya. Sampai saat Toloy dan Rustam datang ke rumah menjenguk Upik dan membawakan sekaleng kerang kepunyaan Upik. Panas badan gadis itu turun seketika.

Toloy heran. Sejak saat itu ia mengerti, bahwa ternyata ia lebih sakti dari mbah Kerto dan lebih pintar dari Pak Dokter yang kadang datang ke sekolahnya menyuntik lengan anak-anak SD kelas 3 dan 4, yang menurut Pak Dokter, imunisasi.

Liburan sekolah kali ini pun bukan yang terbaik bagi Toloy. Rustam lebih beruntung. Orang tua Rustam mengajaknya ke Ancol. Betapa gembiranya Rustam. Senyumnya mengembang saat sebuah mobil sewaan mengantarkan keluarga Rustam ke Ancol.

Toloy tertunduk lesu, pulang ke rumah dengan wajah yang sangat masam. Emak mengajaknya makan siang. Kali ini dengan ikan tengiri hasil tangkapan Bapaknya semalam.

"Mak, kita ga ke Ancol yha, Mak?" Toloy membuka makan siang dengan malas.

"Belum," emaknya menjawab cepat.

"Napa?"

"Yo, nanti lihat nek Bapakmu dapet ikan banyak, trus ke Ancol. Lha memang kamu tahu Ancol itu tempat apa?"

"Yo ndak tahu to, Mak," Toloy menyambar ikan asin buatan Emak yang dibalut dengan sambal lombok ijo bersama dua sendok nasi yang masih mengeluarkan asap berbau gurih.

Toloy tak pernah tahu, Ancol itu tempat seperti apa. Ia hanya tahu, kata mereka itu tempat yang bagus. Bermain air. Begitulah kata mereka.

Emak dan Bapaknya juga tak pernah tahu apa itu wisata. Yang Bapak tahu hanya menghabiskan kewarasannya di tengah laut untuk meraup ikan dengan jaring yang tiap pagi dibersihkan dan diperbaiki kalau ada yang rusak.

Perahu kecil milik Bapak itu pun hanya sewaan dari Pak Bejo, tetangga sebelah yang punya sedikit uang lebih untuk membangun rumah dengan cat tembok yang lebih berwarna cerah dibanding dengan tetangga yng lain.

Sedangkan Emak, dia hanya tahu bagaimana supaya Toloy, anak semata wayangnya bisa sekolah, sehat, dan makan tiap hari dengan kenyang. Tak banyak yang Emak minta.

Pernah suatu ketika Toloy bertanya, "Emak, pengen pergi jauh dari dusun ini ga, Mak?"

"Buat apa?"

"Kerja di luar negeri. Kayak Emaknya si Gandung. Emaknya kalau pulang pasti bawa makanan banyak yang enak-enak. Pake baju yang bagus-bagus. Emak ndak pengen baju yang bagus gitu, Mak?"

Emak waktu itu hanya tersenyum. Toloy tak pernah tahu apa arti senyuman Emaknya. Bertanya pun, Emak juga tak pernah mau menjelaskannya.

Kadang Toloy melewatkan musim libur sekolahnya ini hanya dengan duduk-duduk di bawah pohon kelapa yang tingginya tak seberapa dibanding dengan pohon kelapa di pinggiran pantai yang lain.

Toloy hanya berpikir, tempat dusunnya yang cukup indah. Segalanya baginya cukup indah.

Ada tempat bermain di pantai, sekehendaknya. Berenang sepuasnya, bahkan jika ada kapal yang berlabuh, ia ikut membantu mengangkat ikan -ikan hasil tangkapan tetangganya, dan tak jarang ia pun mendapat bagian seember penuh ikan untuk dibawa pulang.

Bapak tak pernah marah, Emak pun tak pernah melarang. Kata mereka yang baru pulang dari Ancol, mereka bilang, Ancol ternyata adalah pantai. Lalu, apa bedanya dengan pantai di hadapannya sekarang?

Ia mencintai pantainya, ia mencintai Emak, meski hanya menghidangkan sepiring nasi dengan ikan asin, namun selalu sedap baginya.

Bapaknya bukan orang berduit. Kadang pulang melaut membawa hasil yang hanya beberapa uang kertas yang lusuh,Dan beberapa recehan saja. Tapi, Bapak juga tak pernah mengeluh. Kalau Bapak sakit, Bapak hanya di rumah, tiduran sebentar, lalu berangkat melaut lagi.

Kata Bapak, laut sudah kangen sama Bapak. Toloy tak pernah mengerti arti kata-kata Bapak. Tapi Toloy hanya mengerti, bahwa lelaki itu ya seperti Bapak.

Cukup bagi Toloy untuk punya keinginan, suatu saat, mengarungi samudera, membuat desanya seindah Ancol, agar orang lain tahu bahwa bukan hanya Ancol yang bisa disebut pantai indah.

Bahwa dusunnya juga menyenangkan sama seperti yang dikatakan semua orang di dusunnya.

Pak Hermawan, Kepala sekolahnya pernah berjanji. Jika ada siswanya yang bisa lulus dengan nilai sempurna, akan diajaknya ke Ancol. Ini kesempatan bagi Toloy untuk pergi ke Ancol. Ini mimpinya untuk bisa melihat Ancol.

Mimpi yang kini dibungkusnya rapi di saku celana baru yang kemarin dibelikan Emak di pasar, karena tangkapan ikan Bapak banyak.

Mimpi yang dibungkus bersama mimpinya untuk membelikan Emak baju yang bagus, dan membelikan Bapak sebuah perahu yang layak, yang bisa dipakai untuk mencari ikan lagi, agar samudera di hadapannya tak lagi merasa sepi Dan kangen dengan Bapaknya.

Mimpi untuk membuat Mbah Kerto percaya, bahwa ia lebih pintar dari orang yang dijuluki paling pintar di dusunnya itu.

Mimpi untuk membuatkan tempat kerang yang lebih besar buat Upik daripada kaleng bekasnya, mimpinya untuk membuat orang-orang di dusunnya juga percaya bahwa pantainya yang dianggap pelosok, ternyata adalah pantai yang menyimpan berjuta harapan untuk bisa dibagikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun