Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Sudut di Dunia

8 Januari 2020   18:05 Diperbarui: 8 Januari 2020   18:09 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Hari ini bergulir nalar dalam bentuk syair. Di atas papan berbentuk masa terbentuk beragam rasa.

Ada satu sudutnya memanggil untuk aku melangkah, dan menikmati cerita manusia yang tinggal sebongkah. Semacam batu yang uzur dimakan jaman. 

Berlumut dan bercerita tentang protes semesta di bagian belahan selatan bumi. Asap yang mengepul, bersama langit yang memerah, seakan marah pada manusia yang tak jua mengerti dan pahami betapa sakitnya alam.

Api membakar kayu lugu yang tertancap berabad di kedalaman tanah yang memikatnya erat. Hampir habis udara segar pegunungan ditutupi asap api yang tertiup angin. Dan manusia hanya mampu mendongak ke atas memohon kasih pada Sang Khalik tuk ceraikan rasa bersalah mereka pada alam.

Suatu sudut lain membentang genangan air yang tak jua surut. Entah berapa banyak korban telah tercatat. Hanya mencatat korban? Entahlah... 

Setiap jari hanya mampu menunjuk. Kepada siapa yang ditunjuk? Mampukah ia menjawab soal ini? Bagaimana dengan ibu jari saat menunjuk orang lain? 

Berbunyi dalam jemari lainnya, atau dengan gagah akan menunjuk diri kita sendiri untuk bertanggungjawab? Entahlah... Kembali manusia mengembalikan semua pada Sang Khalik.

Di sudut bentang lain, sekelompok manusia saling berebut kekuasaan, sibuk memastikan bahwa seember ikan adalah kepunyaannya, hanya miliknya, seakan tak pernah tahu ikan-ikan yang berkeriapan di perairannya tak pernah memusingkan ini wilayah siapa, itu punya daerah mana. Mau berenang, ya renang saja. Tanpa harus tahu ia milik siapa...

Satu sudut lain, menggila dengan penampakan seorang kaum Adam yang menghabisi hak kebebasan kaumnya sendiri menghampiri asmara. Asmara yang tersumbat dalam jiwa nan lara. Perkosaan, kata manusia lainnya. 

Lantas mengapa perkosaan terhadap kaum lelaki menjadi hal yang membahana dunia, sementara, kasus perkosaan pada perempuan seakan adalah hal yang biasa? Apakah perempuan bukan manusia? Apakah memang perempuan adalah objek, barang pemuas seksualitas belaka? Entahlah...

Dan kali ini, kakiku berlutut, menuntut sebuah lagu mesra agar dua buah negara yang sedang bersitegang di arena medan pertempuran segera menghentikan alur peperangan. Bukan dengan kibaran bendera merah. Namun bendera kasih. Meski tak ku tahu, setinggi apakah seharusnya ego manusia itu ada dalam diri setiap insan.

Satu sudut lain, aku hanya ingin... mendengar kau pun berlutut dan berdoa bagiku, agar aku tak terhanyut dalam pelik lihai iblis mengatur segala rencana gilanya untuk memporak porandakan manusia-manusia kesayangan Sang Khalik Yang Berkuasa atas segalanya...

*Solo.... andai saja aku tahu harus apa....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun