Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 4: "First Journey"]

12 Oktober 2019   13:55 Diperbarui: 12 Oktober 2019   14:05 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: smartvoyageur.com

Bukit dan lembah yang indah terbentang luas di hadapanku. Angin membelai lembut rambut ikal yang kubiarkan tergerai. Harum bau pedesaan ini membuang penatku sejenak. 

Hangat sinar matahari pagi membelai wajahku, seiring angin bukit kembali ikut menikmati setiap lekuk wajahku. Kubiarkan saja alam menyentuh bagian tubuhku. Kubiarkan harum lembut dari dedaunan yang membentang di bawah balkon kastil membiusku.

Seperti kupu-kupu yang beraneka warna kini terbang mengitari bunga-bunga di halaman depan dimana air mancur itu terdengar mengalir gemericik dan bening, mataku terbang mengelilingi hamparan rumah-rumah abad pertengahan di sekitar kastil.

Alam ini tak pernah menipu. Berjalan apa adanya. Air mengalir, udara yang tercipta tak terlihat namun nyata, angin yang berhembus, aku menikmati semuanya. Semua yang sederhana ini. Tak ada kemunafikan, tak ada kebohongan yang disembunyikan, tak ada kemarahan, tak ada kepalsuan, semua apa adanya. Penuh ketulusan.

"Maaf, Tuan Puteri, " suara Tuan Dunberg mengejutkanku, membangunkan aku dari lamunan.

Aku berdiri dan menundukkan badanku memberinya hormat. "Tuan Dunberg," salamku.

"Kau mengaguminyakah, Tuan Puteri? Lihat bukit itu. Hijau. Ada dua bukit yang mengapit gunung tinggi itu. Lihat, Tuanku, pohon -pohon yang tinggi nan elok. Mereka penjaga kita. Pinus-pinus perkasa yang selalu membentang siap memberikan apa yang kita butuhkan.

"Air, udara, keteduhan, semua disediakan untuk kita. Inilah kehidupan. Mereka membutuhkan kita untuk mengelola mereka, merawat mereka, bukan meniadakan dan menghabisinya. Saling bergantung, bukan.

"Kerajaan Fillya pun membutuhkan, Anda, Tuan Puteri. Kerajaan kita, banyak dikenal orang sebagai kerajaan pedalaman. Indah, kaya, dan penuh keramahan. Fillya memang berada di sebuah lereng gunung. Hanya keturunan peri saja yang mampu melihatnya.

"Kau akan takjub melihat semua, Tuanku. Mari, akan hamba perlihatkan segala hal yang harus Tuan Puteri ketahui. Waktu kita tak banyak, Tuanku. Jadi hamba berharap mampu memberikan pengetahuan yang cukup untuk Tuanku, sebelum Tuanku bertemu Sang Guru Besar Langboard."

"Tuan, bolehkah saya bertanya? Siapa Langboard?"tanyaku. "Setiap orang membicarakannya. Bahkan Ayah pun membicarakannya,"

Tuan Dunberg tak segera menjawabnya. Kami melangkah menikmati sebuah lorong megah yang ujungnya terdapat jendela-jendela dengan mozaik indah karya seni yang sangat luar biasa.

Hingga sampailah kami di sebuah ruangan, mirip dengan perpustakaan. Ada begitu banyak buku tersusun rapi dalam rak-rak buku yang menjulang tinggi. Mungkin tingginya antara 5 hingga 10 meter. Sungguh suatu ruangan belajar yang luar biasa megah bagiku.

Untuk sesaat aku mengagumi segala ornamen dan semua buku yang tertata rapi diantara rak buku yang terbuat dari kayu kuno, semua perkamen-perkamen kuno, buku-buku tebal, dan semuanya itu tersusun menurut huruf yang menyerupai simbol-simbol kuno purbakala.

Di tengah ruangan ini disediakan sebuah meja yang cukup lebar berbentuk segi enam, terbuat dari kayu pula. Tanpa ukiran. Keenam sisi meja tersebut tersekat oleh sekat kayu yang berukir daun-daun berulir.

"Mari Tuan Puteri, kita ke ruang dalam,"ajak Tuan Dunberg. 

Kami memasuki ruangan yang lebih dalam lagi. Tuan Dunberg menuju ke sebuah dinding. Oh, dinding? Ya, dinding. Dan ia menghilang menembus dinding itu.

Aku termangu di depan dinding itu sendiri. Mencoba untuk mencari gagang pintu atau tombol rahasia yang tersembunyi di sekitarnya, tapi aku tak segera menemukan. Ah, bodoh sekali aku. Lalu bagaimana mungkin Tuan Dunberg menghilang dibalik dinding itu?

"Hhh, mengapa aku bisa sebodoh ini? Tuanku, ampuni hamba. Hamba lupa Tuanku Putri belum mempelajari satu hal pun tentang mantra pembuka dimensi," Tuan Dunberg yang berjanggut abu-abu itu tiba-tiba muncul dari dinding dan membuatku melompat terkejut.

"Tuan...!! Ooh..!!" aku melompat selangkah ke belakang.

Tuan Dunberg menggandeng tanganku lalu berkata, "Razpireti prostora," lalu kami memasuki sebuah tempat yang lebih luas, menyerupai sebuah tempat bersekolah yang sangat luas. 

Dan di sinilah...aku mulai mengenal Kerajaan Fillya. 

"Selamat datang di tempat kami menghidupi pemikiran kami, Tuan Puteri," kata Tuan Dunberg.

Langkahnya cepat, menelusuri lorong yang di sebelah kanan dan kirinya berdiri pilar-pilar kokoh yang besar, tinggi, lagi kuat. Aku berlari kecil mengikutinya. Tempat itu berada menempel di sebuah tebing.

Sungguh tempat yang menakjubkan. Sampailah akhirnya kami di sebuah tempat yang luas. Hanya ada beberapa peri yang sedang membaca beberapa buku besar.

Tuan Dunberg membuka sebuah gulungan perkamen kuno. Sudah usang. Sangat usang.

"Kita mulai dengan, sejarah kerajaan Fillya, Tuan Putri," kata Tuan Dunberg. Lagi sebuah mantra keluar dari mulutnya,"historiamus scribendi."

Dari perkamen itu muncul sebuah peta kerajaan dengan bukit, sungai, dan pohon, serat rumah penduduk muncul di atas kertas seperti diorama, ya, dalam bentuk diorama yang bergerak. Sungguh indah.

Lembaran perkamen tua kubaca pelan namun pasti. Aku tak mengerti semua simbol kuno itu. Ada yang berbentuk seperti delta, gamma, omega, Dan masih banyak lagi. 

Hampir mirip seperti yang kuingat dalam pelajaran matematika saat aku bersekolah dulu.

Aku mulai membaca semua kalimat yang ada dalam perkamen itu. Setiap kalimat yang muncul dan berterbangan setelah kubaca, mempunyai warna yang berbeda.

Aku terkejut, warna-warna itu terkadang membentuk sebuah gradasi warna. Ada merah, biru, hijau, ungu, kuning, dan ada satu warna yang aku suka, jingga.

"Air dan tanah adalah bentuk kehidupan. Laut dan pegunungan yang menyatu membentuk sebuah kehidupan," aku berhenti membacanya.

Tuan Dunberg termangu, duduk diantara beberapa peri yang berdiri di sekitarnya.

"Tuan Puteri, tak banyak yang bisa membaca perkamen tua itu secepat Tuan Putri,"kata Tuan Dunberg.

"Tapi Tuan, setiap kalimat ini berwarna. Aku suka melihatnya. Aku hanya merangkainya membentuk warna-warna yang indah. Ada beberapa diantaranya harus kita jadikan satu kelompok warna agar kita lebih cepat membaca dan memahaminya."

"Warna? Ini hanya tinta hitam yang hampir hilang diatas perkamen usang yang hampir tak pernah kami baca," sahut Tuan Dunberg.

"Tuan, tapi apa artinya kalimat ini?"

"Ada apa dengan yang terakhir?"

"Warna kalimat ini jingga berkilau emas, Tuan. Lautan dan pegunungan bersatu membentuk kehidupan baru? Apa maksudnya, Tuan?"

Tak ada satu jawaban pun keluar dari Tuan Dunberg atau peri yang lain. Semua diam. Kecuali seorang peri yang kemudian pergi dari tempat itu. Ia melesat ke sebuah rak buku, entah apa yang ia lakukan.

*Solo, "you must stay drunk on writing so reality cannot destroy you" ( Ray Bradburry)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun