"Ayo kita cari makan, Tuanku,"
"Thea...panggil aku Sherin. Akan aneh kedengaran orang kalau kau terus-menerus memanggilku Tuan Putri."
"Baik, Sherin. Kita cari makan dulu. Logika tanpa logistik itu mati rasanya."
Adakalanya aku harus menuruti kata-kata Thea. Ya, bukankah dia satu-satunya orang yang (mau atau tak mau) harus kupercaya?
Setelah bisnis urusan perut selesai, dan mobil kami cukup penuh dengan bahan bakar, kembali kami melanjutkan perjalanan.
"Sekarang kita akan kemana Thea?"
"Kita akan pergi ke sebuah kastil."
"Kastil? Kau pasti bercanda, Thea. Tempat ini seperti padang gurun. Dan kita akan pergi ke sebuah kastil?"
"Kau akan lihat nanti,"
Sekitar setengah jam kemudian, Thea membelokkan mobil ke arah kiri. Satu jalan kecil. Tak selebar jalan yang tadi kami lalui. Tiba-tiba serasa kami melalui medan jalan yang berbeda. Rasanya ada sedikit turbulensi? Tapi, bukankah kami ada di tengah padang gurun? Sungguh aneh.
Kami berada di sebuah jalan dengan beberapa pohon di sekitarnya. Sangat sejuk. Seperti hutan di sebuah desa yang sangat terpencil. Dan tepat dugaanku. Beberapa meter di hadapan kami ada sebuah desa.Â