Pagi masih bersembunyi di balik senyuman rembulan yang masih menantang hari. Tak banyak yang terjadi. Pintu garasi terbuka sedikit. Thea hanya membawa satu tas sandang kecil di pundaknya. Aku mengikuti dari belakang.Â
Kami akhirnya memilih untuk meninggalkan kota dengan mengendarai mobil yang biasanya dipakai Ayah.Â
Jalanan sepi. Suara-suara bom yang sempat terdengar kemarin, tak lagi kedengaran. Dari samping lorong jalan antara gerbang rumah dan garasi, aku melihat ada begitu banyak binatang semacam kumbang bertebaran mati di sepanjang lorong itu.
Kumbang itu berukuran sebesar ayam kalkun yang biasa kusajikan di meja saat Thanksgiving. Ada sayap berwarna hitam dengan gradasi hijau mengkilap. Kepalanya bertanduk dua, kiri dan kanan. Matanya seperti mata lalat. Ada taring yang menyeringai panjang di depan mulut yang tertutup.
"Menjijikkan. Binatang apa ini?"
"Ganggroon," jawab Thea singkat.
"Ganggroon?"Â
"Ayo cepat kita harus mengejar waktu. Nanti aku jelaskan di jalan . Masuklah ke mobil. Biar aku yang menyetir,"
Aku dan Thea segera pergi meninggalkan kota kecil tempat kami tinggal. Di sepanjang perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. Tidak. Ini perjalanan pertamaku bersama orang lain. Bukan dengan Ayahku.Â
Ayah, Ipung, oh kemana kalian? Â Aku merasa sendiri. Suatu perjalanan panjang yang masih harus kutempuh bersama satu-satunya orang yang pernah kukenal. Ya. Hanya Thea yang selama ini kukenal.