Pikiranku galau. Aku bukan orang yang mengerti medis. Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku berdiri, Bapak tak segera mengambil keputusan. Kuraih gagang telepon, kucoba hubungi rumah sakit.Â
Dan malam itu, aku harus tinggal di rumah sakit, menemani Mami yang baru saja terselamatkan nyawanya dari hilang sadarnya. Dari keterangan dokter, aku baru mengerti bila kadar gula darah Mami sangat rendah. Ternyata Mami sempat kehilangan kesadaran. Untung saja, Mami cepat dibawa ke rumah sakit. Nyawanya masih tertolong.
"Oh, kamu masih di sini, Ndhuk? Mbok ya gantian sama yang lain. Kamu kan capek," sapa Mami lembut membangunkan tidurku. Ternyata pagi sudah menjelang.
"Nggih, Mam. Ini nanti gantian Dhek Sunu atau Dhek Siwi. Saya nunggu salah satu dari mereka, Mam," jawabku tak beranjak dari tempat dudukku di samping kiri bed pasien Mami.Â
"Ndhuk, Mami ini, sebenere sakit apa, to?" tanyanya bingung.
"Cuma masuk angin kok, Mam. Besok juga sudah pulang," jawabku lagi sambil kubelai rambut yang sudah banyak berubah warna menjadi putih.
"Iya. Aku juga mau pulang. Nanti kita ada malam Natal yo. Kamu sudah siapkan?"
"Sampun, Mam,"
"Maaf, ya, Mami ndak bisa ngasih kamu kado. Padahal aku pengen beliin kamu baju baru. Buat kerja. Kamu senengnya ngeyel. Anak perempuan itu mbok ya yang agak rapi. Mana ada yang mau, kalau kamu kerja aja pake baju ala kadarnya seperti itu."
"Nanti Tyas beli baju, Mam. Tyas janji," ucapku pelan, sambil kubersihkan badan Mami dengan washlap.Â
Mami sempat tertidur sebentar. Kubiarkan saja. Entahlah. Aku hanya ingin membiarkannya beristirahat. Meski sebentar. Namun kejadian di rumah kemarin malam kembali terulang.Â