Kesehatan Mami semakin memburuk. Kami sempat  ke rumah sakit. Memeriksakan matanya yang mengalami gangguan penglihatan. Berbagai macam tes medis dijaninya, hingga akhirnya dokter pun menyatakan, mata Mami terkena glukoma.Â
Mami tak pernah mengerti sakit apa itu. Tapi aku cukup mengenalnya dari berbagai literasi baku yang pernah kubaca.Â
Terkadang Mami hanya berkata, "Mataku ini kenapa ya. Sekarang aku tak bisa membaca dengan jelas. Aku masih ingin membaca Alkitab," ujarnya penuh kejenuhan. Akhirnya Bapak memutarkan radio yang sering menyiarkan program kerohanian.
Mami sedikit terhibur. Aku ikut senang, meski kadang sepulang dari kantor aku harus mendengarkan ceritanya yang terus-menerus diulang-ulang. Kubiarkan saja.
" Hari terus berjalan. Seperti mimpi rasanya ya, Non,"ujar Ratri saat ia mengajakku makan ke angkringan di dekat rumahku. "Hey, gimana kabarnya, Mami?"tanyanya
Ratri bukan lagi seorang sahabat bagiku. Ia seperti saudara dalam keluargaku. Dulu, saat kami berdua diwisuda, aku ingat betul bagaimana Mami menyuapinya sarapan, karena Ratri tak mau makan sedikit pun.Â
Dan Ratri menyimpan kenangan itu jauh dalam ingatannya. "Suapan wisuda" itu istilah Ratri untuk mengenang peristiwa bersama Mami.Â
"Mami kena glukoma, Rat. Makin parah, kayaknya. Hffffh," desahku makin berat. "Oh sudah setengah jam. Yuk kita pulang. Kok rasanya hatiku ga enak, ya, Rat."
Entah mengapa hati ini makin tak menentu. Setiba di rumah, aku segera mengetuk pintu kamar Mami pelan. Dan alangkah terkejutnya aku.
Tubuh Mami kaku. Kuraba nadinya, masih berdenyut. Mata Mami kosong seperti orang kesurupan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Suaranya hanya mendesis.
"Bapak ! Bapak menika pripun? Mami kok kados mekaten?" kupanggil Bapak yang ada di ruang tengah sedang melihat televisi sendiri.Â