Aku mendekatinya, merapat pada titisan Sang Wisnu,"Ada apa, Kanda Kresna?"
"Mari, sekarang saatnya telah tiba bagimu, membunuh Bisma,"Â
Keraguan sempat meraja dalam batinku saat kulihat begitu banyak korban yang berjatuhan, manakala prajurit yang ada nan gagah berani layaknya Werkudara pun mundur tak bisa menandingi kedigdayaan Bisma, sedang aku?Â
Aku hanya seorang wanita bersenjatakan panah. Satu-satunya kemampuanku hanyalah memanah, bahkan suami sekaligus guruku, Arjuna pun tak mampu menghadapi kesaktian Bisma.Â
"Aku Kanda? Bagaimana mungkin? Kakangmas Arjuna saja sampai sekarang bahkan belum mampu menundukkan kesaktian Eyang Bisma. Sedangkan aku hanyalah seorang perempuan,"
Kulihat senyum Sri Kresna. Jelas ia melihat keraguan yang timbul dari benakku. Lalu katanya,"Srikandi, apakah kau lupa cerita tentang Dewi Amba, yang sejak kecil kau dengarkan?"
"Jadi, Kanda, apakah aku yang akan menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk membunuh Bisma?"tanyaku.
"Hmmm, ternyata kau masih bisa berpikir pintar, adikku," sahut Sri Kresna bersahaja.
Dan entah dari mana kini dalam diriku bangkit suatu nyala api yang membuncah, menghanguskan segala ragu. Dengan penuh keyakinan akulah yang mampu dan memegang mandat untuk mengakhiri jatuhnya lagi jasad di medan tempur ini.
Melihat senyum mengembang di sudut bibirku, Arjuna sang penguasa hatiku menghampiri dengan bangga.
"Mari istriku, aku yakin kau dan aku akan mengakhiri kedurjanaan ini. Sudah terlalu banyak nyawa yang terenggut. Mari, kekasihku, kita hentikan semuanya ini," kata Arjuna lembut sambil menggandeng tanganku menaiki kereta perangnya, memasuki medan laga.