Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dear Diary...

30 Agustus 2019   13:08 Diperbarui: 30 Agustus 2019   13:16 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com (diolah kembali oleh penulis)

Dear diary,...

Siang ini lagu Caravansary mengalun mesra menemaniku meniti hari. Saat semua orang menikmati kelaparan mereka yang mulai memudar pergi, waktu seutuh makanan yang telah menyentuh lambung, aku masih berkutat dengan lagu dan setumpuk kertas dan pensil mekanik ku.

Laporan, dan laporan. Ruangan ini memaksaku untuk menerobos masuk dalam data-data di alam PC. Tak banyak, hanya beberapa data di bulan ini.

Hfffh....waktu makan siangku sengaja tak kusentuh. Bukan salah perusahaan atau laporan atau seluruh data ini. Bukan pula salah tanggal yang ada di kalender yang selalu duduk termenung di meja kerjaku. Pun bukan salah jarum jam dinding yang terus berjalan, meski aku ingin ia rehat berputar. Berharap ia mau bergeming sebentar.

Aku masih di sini. Ruang tanpa pendingin udara. Hanya kipas angin yang sengaja kusuruh berputar pelan. Pelan saja agar kepalaku tak berasa sakit. Aku hanya tak enak hati dengan udara gerah yang sempat membujukku membuka dan menengok keluar jendela ruang kantorku.

Melihat angkasa biru lagi, terlihat begitu bersih, sedikit angan saja sudah menerbangkan ku ke sana. Mengapa dia ada di langit itu? Wajah yang tak mau pudar. Atau itu yang jadi inginku? Mungkin pula aku terlena dengan inginku.

Seperti Einstein, si bapak pintar dengan rambut kriwilnya yang sekarang sedang tersenyum simpul ke arahku, selalu tersenyum simpul. Tapi tetap saja tak semanis senyuman Arswendo-ku.

Oh ya, aku ingat kata Einstein, mungkin bunyinya seperti ini, "Logika mampu membawa kita dari titik A ke titik B, sedang imajinasi membawa kita ke alam tanpa batas". Di alam inilah sekarang aku berada. 

Meski telepon wireless di ruang sebelah terus terdengar namun tetap saja tak mampu mengalahkan denting piano Bach yang mengalun pelan di telingaku.

Oh, Bach, untunglah kau sudah meninggalkan beberapa musik indah ini, dan mungkin aku pun terlahir untuk menyukaimu. Menyukai karaktermu yang meski sudah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, partitur dan nada-nada itu masih kau peluk mesra, hingga dengan rela kau menjemput kematian yang membawamu meninggalkan era.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun