Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi Rasa

11 Juli 2019   08:20 Diperbarui: 11 Juli 2019   08:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : pixabay.com

Mendengar kembali lantun suara Glenn Fredly dari MP3 mobil milik driver ojol membuatku terbuai dalam ingatan.  Membangunkan kembali jejak yang telah kukubur lama. Lagu ini, entah mengapa memberiku nyali untuk kembali menulis cerita ini. 

Bukan kisah indah yang bisa dibukukan. Bukan semacam novel terkenal yang siap untuk difilmkan. Bukan. Hanya sepenggal guratan tinta diatas dashboard online.

Nyali. Ya, nyali ini sudah coba untuk kukumpulkan, Glenn. Tapi aku belum setangguh dirimu kembali mempercayai dan dipercayai, menerima dan diterima, menyediakan diri untuk kembali dicintai dan mencintai.

Bahkan aku sudah lupa caranya, Glenn.

Nyali Terakhir. Secerdas itukah aku hingga mempunyai nyali sebesar nyalimu untuk bertemu dan memilih memberi kesempatan bagi sebuah cinta kembali tercipta?

Bukan karena aku masih mengingat ingkarnya. Bukan karena aku masih memegang semua jahat khianat yang pernah ia torehkan di ingatan dan batinku. 

Waktu telah membawaku melangkah jauh. Sejauh yang kumau. Semangat ini, mimpi ini, keinginan ini, tak pernah lagi kumengerti kutujukan untuk siapa.

Dulu langkah ini memang bagai doa. Kusebut nama cinta di dalamnya. Kulantunkan rindu bagi asmaraku. Tapi, entah kini. 

Kekuatan logika membawaku berjalan jauh. Tanpa hati? Mungkin. Tapi paling tidak sakit yang dulu meradang kini mulai hilang. 

Aku merasa bebas. Bebas merangkul langkahku. Menulis segala aksara yang dulu mati. Seperti elegi.

Tapi kini kudapati diriku benar-benar mati rasa. Tak ada kumpulan rindu. Yang tersisa hanya satu rasa yang bahkan aku sendiri tak pernah mengerti.

"Carilah teman, Ndhuk," hanya kalimat indah Bunda saja yang terngiang di telingaku. 

Tapi Bunda terlalu cepat pergi, dan Bunda belum sempat mengajarkan secara teoritis, bagaimana mengolah janji dan rasa percaya dengan bumbu cinta.

Buku resep masakan cintanya terkubur di bawah kenangan masa. Lalu kepada siapa aku kan bertanya? Tentang sebuah rasa yang telah lama kulupa.

Semua pasti ada masanya, iya, aku mengerti dan coba memahami. Ataukah harus kulangkahi hari demi hari tanpa cerita cinta yang tak juga segera kutemui?

Aku lupa sebuah rasa. Mungkinkah ada yang bisa menjelaskannya? Tanpa pemanis buatan, tanpa bahan pengawet yang mematikan, dan tanpa bumbu yang terlalu sulit untuk kudapatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun