Mohon tunggu...
Salma Dhiyayl Haq
Salma Dhiyayl Haq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sekolah Vokasi IPB University

Mahasiswa biasa yang suka menulis, menggambar, dan journaling. Masih dalam proses untuk menjadi versi terbaik diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Buzzer di Media Sosial dan Pengaruhnya Terhadap Citra Pasangan Calon Pemilu 2024

25 September 2024   16:00 Diperbarui: 25 September 2024   16:01 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Kominfo telah menemukan 203 isu hoax selama masa pemilu 2024. Sebagian besar berita hoax yang ditemukan berasal dari media sosial, dengan total sebanyak 2.882 konten. Penyebaran hoax atau berita palsu di media sosial memang menjadi isu yang sangat memprihatinkan saat ini. Terlebih lagi, isu hoax ketika masa kampanye pemilu selalu meningkat tiap periode.

Jelang pemilu, tim sukses dan pasangan calon berlomba-lomba untuk mendapatkan suara rakyat. Melalui media sosial, pasangan calon membangun citra positif agar dapat meraih elektabilitas yang tinggi. Pasangan calon berusaha sebaik mungkin agar terlihat baik di mata masyarakat dengan mengunggah berbagai kegiatan yang menarik simpati rakyat selama masa kampanye;

Sebagai saluran informasi, media sosial menjadi wadah yang tepat untuk membangun citra pasangan calon. Namun, tidak jarang berita atau unggahan yang beredar di media sosial merupakan berita palsu atau hoax. Hoax biasa dibuat untuk menggiring opini publik dan mengunggulkan atau menjatuhkan kandidat pasangan calon.

Penyebaran hoax tidak terluput dari andil buzzer politik. Dalam kampanye pemilihan presiden di Indonesia, buzzer memiliki peran penting untuk mempengaruhi opini publik, khususnya dalam media sosial. Buzzer politik dapat membuat narasi yang mengundang sensasi agar topik tersebut menjadi viral di dunia maya. Berita yang dibuat oleh buzzer bisa membangkitkan citra pasangan yang didukung sehingga audiens ikut mendukung pasangan calon tersebut. Ada juga berita yang dibuat untuk menjatuhkan dan menjerumuskan lawan agar elektabilitas pasangan lawan berkurang. Tak jarang pula narasi yang diunggah buzzer dapat memicu keributan antar pendukung pasangan calon di media sosial.

Hoax, Buzzer, dan Elektabilitas dalam Pemilu

Hoax atau berita palsu sudah menjadi kata yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Hoax adalah informasi palsu atau bohong yang dibuat untuk merekayasa kejadian sebenarnya. Tujuan pembuatan hoax pun bermacam-macam. Dalam pemilu, biasanya hoax disebarkan untuk menggiring opini publik terhadap kandidat pasangan calon.

Ada tiga jenis gangguan informasi berdasarkan kebenaran dan tujuannya, yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi adalah informasi yang tidak akurat sebab kelalaian penulis berita, namun tidak ada tujuan merugikan atau mengelabui audiens. Disinformasi adalah informasi yang salah dan sengaja dibuat dan disebarkan untuk mengelabui penerima. Sedangkan malinformasi adalah informasi yang dibuat berdasarkan fakta sebenarnya, namun dibungkus sedemikian rupa dari sudut pandang tertentu untuk merugikan suatu pihak dan mempengaruhi opini audiens. Dari tiga jenis gangguan informasi yang disebutkan, yang termasuk informasi hoax adalah disinformasi dan malinformasi.

Buzzer adalah istilah yang berkaitan dengan hoax, sebab buzzer kampanye biasa mempengaruhi opini publik dengan menciptakan berita hoax. Buzzer merupakan istilah yang populer mulai tahun 2019, mengacu pada orang-orang yang dibayar oleh pemerintah atau instansi untuk memanipulasi opini publik di media sosial.  Buzzer dapat dikatakan sebagai suatu profesi di media sosial yang bertugas mengkampanyekan, menyebarkan berita, dan mempengaruhi pendapat audiens di media sosial.

Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan partai politik kandidat pasangan calon dalam pemilu. Seringkali, kata elektabilitas dikaitkan dengan popularitas, namun kedua kata ini memiliki arti yang berbeda. Elektabilitas mengacu pada tingkat keterpilihan seseorang dan potensinya untuk menduduki suatu jabatan, sedangkan popularitas mengacu pada ketenaran seseorang.

Seorang kandidat atau pasangan calon dalam pemilu memerlukan elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Kedua hal ini dapat meningkatkan potensi pasangan calon untuk menang dalam pemilu. Oleh karenanya, pasangan calon terus berlomba-lomba meraih simpati masyarakat dan membangun citra positif selama kampanye untuk memperbesar peluang terpilih dalam pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun