Mohon tunggu...
Dhita Mutiara Nabella
Dhita Mutiara Nabella Mohon Tunggu... Ilmuwan - Program Officer Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia - Pendiri Komunitas Cerita Iklim

Dhita Mutiara Nabella merupakan pemuda berusia 23 tahun yang memiliki ketertarikan untuk mendalami isu tentang krisis iklim dan pembangunan berkelanjutan. Saat ini, ia bekerja sebagai Program Officer di Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga mendirikan komunitas Cerita Iklim yang menjadi tempat bagi para pemuda untuk berdiskusi dan belajar bersama tentang krisis iklim.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Opsi Kebijakan Krisis Iklim: Mengandalkan Teknologi atau Memperlambat Pertumbuhan, Mana yang Lebih Baik?

8 Mei 2021   02:14 Diperbarui: 8 Mei 2021   02:17 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemulihan hijau untuk hadapi perubahan iklim dunia. Sumber: shutterstock/ParabolStudio

Krisis iklim merupakan tantangan yang saat ini tengah kita hadapi di berbagai penjuru dunia. Dampak dari krisis iklim ini tidak terbatas oleh negara, dampaknya dirasakan oleh seluruh penduduk yang hidup di bumi. Oleh karena itu, kepala negara dan para peneliti menganggap krisis iklim ini merupakan isu genting yang harus segera ditanggapi secara serius. Beberapa pekan lalu, telah dilaksanakan pertemuan berbagai kepala negara untuk menyampaikan strategi dan kebijakan yang akan dilakukan dalam upaya mencapai target emisi yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris. Dengan demikian, pengambilan kebijakan terkait krisis iklim memiliki peran sentral untuk mencapai target tersebut.

Saat ini, terdapat berbagai teori dan kerangka berpikir untuk membuat kebijakan terkait krisis iklim. Pada tahun 1987, mulai terdapat istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dilatarbelakangi oleh munculnya kepedulian terhadap lingkungan, khususnya di negara-negara industri. Bersamaan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, terdapat istilah lainnya yaitu modernisasi ekologi (ecological modernization) yang memiliki prinsip untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan lingkungan. Konsep terkait modernisasi ekologi tersebut memiliki titik berat terhadap inovasi teknologi yang terus berkembang, dengan harapan mampu menurunkan emisi sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomi. Konsep tersebut terlihat sangat baik dan ideal, namun seberapa mungkin konsep tersebut dapat terimplementasi dengan baik, masih menjadi tanda tanya.

Beberapa kelompok peneliti turut memberikan kritik terhadap konsep modernisasi ekologi dengan berbagai argumen, diantaranya bahwa konsep tersebut sebagai bentuk kapitalisme yang ditutupi dengan konsep hijau. Sebagai contoh ilustrasi, perkembangan teknologi di masa depan akan menghasilkan mobil listrik yang tingkat emisinya lebih rendah. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan masyarakat akan membeli mobil lebih banyak lagi, sehingga bisa jadi jumlah emisi dari mobil yang terus bertambah tersebut sama saja atau bahkan melebihi dari emisi sebelum inovasi tersebut ada di masyarakat. Selain itu, inovasi teknologi tersebut belum bisa menjawab kapan inovasi tersebut dapat terimplementasi secara menyeluruh di masyarakat, padahal di satu sisi, beberapa negara saat ini sedang mengejar target zero net emission pada tahun 2050.

Selain dari segi teknologi, modernisasi ekologi juga dikritik terkait dengan kepercayaannya terhadap suatu kepastian. Padahal, dalam ilmu sains, prinsip ketidakpastian itu harus selalu dilibatkan. Sebagai contoh, modernisasi ekologi percaya bahwa teknologi nuklir mampu menjawab kebutuhan energi dalam jumlah yang besar dengan menghasilkan emisi jauh lebih rendah. Padahal, teknologi tersebut memiliki ketidakpastian yang berupa resiko yang besar apabila tidak dapat beroperasi dengan baik.

Dengan demikian, untuk menjawab berbagai perdebatan yang ada, tercipta sebuah konsep yang dikenal sebagai "degrowth" atau dengan kata lain yaitu menekan laju pertumbuhan. Konsep ini hadir dari sebuah gagasan bahwa hanya bergantung dengan inovasi teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi degradasi lingkungan yang saat ini terjadi. Dengan demikian, perlu adanya tindakan untuk mengurangi laju produksi dan konsumsi, dalam konteks industri maupun di dalam masyarakat. Menurut kelompok yang mendukung konsep degrowth, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi variabel sentral yang menyebabkan degradasi lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya transformasi masyarakat yang lebih radikal untuk menurunkan emisi.

Sebagai contoh, ada sebuagh kota X yang memiliki dua opsi kebijakan terkait pengendalian krisis iklim. Opsi pertama, mengacu pada konsep modernisasi ekologi, yaitu dengan memperbanyak produksi mobil listrik untuk menurunkan emisi dari sektor transportasi. Opsi kedua, pada kelompok degrowth, akan menitikberatkan untuk menggunakan transportasi umum dibandingkan dengan transportasi pribadi, dan beralih dengan menggunakan sepeda atau jalan kakl.

Konsep penekanan pertumbuhan ekonomi ini juga turut dikritik terutama untuk negara-negara berkembang dimana pertumbuhan ekonomi menjadi hal sentral untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, konsep degrowth lebih relevan ditunjukkan bagi negara-negara maju yang menghasilkan emisi paling besar di dunia, misalnya Amerika.

Lantas, bagaimana di Indonesia? Kebijakan apa yang sebaiknya diambil? Tentu, kedua opsi kebijakan tersebut memiliki titik kelebihan dan kelemahannya masing-masing, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kebijakan merupakan suatu ranah yang kompleks karena tidak hanya didasarkan pada konteks sains saja, namun juga dengan kondisi politik. Oleh karena itu, kebijakan merupakan hal yang dinamis. Poin penting yang perlu Indonesia tekankan bahwa pertumbuhan ekonomi yang diharapkan sebisa mungkin mampu mengurangi dampak terhadap degradasi lingkungan di Indonesia. Bisa kita pahami bahwa hal tersebut bukanlah hal yang mudah, perlu adanya kesadaran kolektif untuk mencapai target pembanguan yang berkelanjutan di Indonesia.   

   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun