17 Agustus, dalam ingatan masa kecil saya, selalu tentang bendera lusuh dan tiang bambu yang dipasang di depan rumah. Tentang antusiasme mengikuti lomba makan kerupuk yang digelar di lapangan. Tentang saya dan teman-teman yang berebut menyombongkan diri sebagai yang paling hafal lagu Indonesia Raya. Tentang bendera kecil yang kami kibarkan dengan perasaan bangga yang lugu. Saat itulah, kami merasa menjadi Indonesia.
Beranjak dewasa, kenangan saya dipenuhi tentang kebahagiaan menonton upacara kemerdekaan di televisi, menertawakan polah para bocah dalam lomba agustusan, dan menikmati jajanan dari para pelapak di pinggir lapangan.
Hari ini, saya menjalani 17 Agustus yang sepenuhnya berbeda.
Terasa asing (kalau tidak mau disebut aneh).
Dan jauh lebih tenang (atau lebih tepatnya sepi).
Tapi tetap saja, ini 17 Agustus. Dan bagaimanapun keadaannya, saya memilih untuk tetap merayakan.
Namun kali ini, dalam senyap. Dengan nostalgia... dan doa.
Semoga negeri tercinta segera baik-baik saja.
Di sudut kamar, berkawan dinginnya lereng Gunung Wilis
17 Agustus 2020