Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Amuhia

7 Agustus 2019   18:38 Diperbarui: 8 Agustus 2019   20:37 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: aqilasalmakamila.wordpress.com

RT Uban, salah satu RT yang paling lama di Kelurahan Bujur Kemasem. Mungkin juga akan menjadi RT seumur hidup. Jabatan itu selalu didapat secara aklamasi tanpa pertarungan politik sengit. 

Kata orang, rambut putihnya itu tumbuh karena sepanjang kepemimpinannya terus memikirkan Taman Amuhia yang banyak menelan korban. RT Uban juga memiliki semacam traumatik, penyakit post traumatic stress disolder, sebab 2 cucunya juga ikut hilang sampai kini. Katanya orang mereka pergi dan tinggal di taman Amuhia. Itulah sebabnya, ia selalu menghindar dan pura-pura acuh jika ada orang yang bertanya tentang taman Amuhia.

Suara dari kerumunan massa itu membangunkan Rudi. Dari gang buntu yang pengap, bau busuk dan selalu gelap itu, Rudi berjalan menuju kerumunan warga. Ibu-ibu banyak yang menangis. Histeris. Menyebut nama anak mereka sambil berteriak-teriak. Wajah penuh ratap dan air mata telah bercampur dengan air selokan. Got-got mulai mampet tak sanggup menampung air mata. Anak-anak bocah dipeluk erat-erat menjadi tahanan rumah. Tidak ada lagi yang boleh kejar-kejaran atau sekedar bermain hujan di taman. Tak ada lagi anak-anak bermain di luar rumah karena memang tidak ada lagi tempat bermain yang aman untuk mereka. Sungguh mengerikan.

"Rud, bukannya kamu kemarin main sama anak tante. Di mana Raras sekarang?" Tanya seorang tante muda sambil mengusap sisa air di matanya.

"Kamu pasti tahu Rud? Tante tidak bisa kehilangan Raras. Dia anak kami satu-satunya."

Rudi tidak menjawab. Refleks Jalannya mundur ke luar dari kerumunan. Setelah sedikit lenggang ia mulai berlari masuk ke dalam gang-gang sempit yang selalu gelap dan selalu pengap itu. Baunya yang bacin, pesing dan tengik itu pasti akan membuat siapapun yang lewat muntah kuning, apalagi orang baru yang belum pernah ke sana.

"Tangkap bocah itu!"
"Ia menyembunyikan rahasia penting."

Dengan mengenakan masker respirator N95 dan sambil menahan mual, tante muda yang bekerja di bagian perkotaan itu mengejarnya. Gang-gang sempit yang berkelok dan licin membuat tante muda itu terjatuh beberapa kali. Rudi si juara lari, dengan yakin tetap meluncur bagai kijang.

Akhirnya sebelum senja berganti sempurna dan semburat jingga yang ke ungu-unguan itu belum berganti menjadi malam, Rudi tertangkap di rumahnya. Untuk menghindari kerumanan warga, Rudi digelandang ke kantor Polisi untuk dimintai keterangan. Dalam perjalanan ke kantor polisi, Rudi didampingi komisioner KPAI dan puluhan media massa nasional yang meliput kejadian langka ini.

***

Di kantor polisi, kerumunan massa semakin menjadi-jadi. Empat sisi jalan raya yang mengarah ke kantor polisi sudah penuh orang bersesakan. Bahkan ekor barisan massa sampai melewati 5 lampu merah. Luar biasa. Inilah puncaknya para warga meminta kejelasan nasib anak-anaknya yang hilang masa kanak-kanak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun