Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intuisi dari Sebuah Perjalanan

20 Desember 2017   14:01 Diperbarui: 20 Desember 2017   16:21 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dering peluit panjang yang dinantikan akhirnya ditiup juga. Di bawah rintik hujan mengundang, sebuah Kereta api berjalan perlahan meninggalkan tempat asalnya. Seorang nenek duduk menatap jendela yang sedikit berembun. Raut wajahnya begitu muram seperti ada beban yang ditinggalkan. Entah apa?

Di sudut lain, seorang anak begitu riang terus bertanya "ibu, kapan kita sampai?" "kita mau kemana sih yah, jauh banget?" sesekali ia berlalu lalang di gerbong kereta untuk mengusir kebosanannya. Hampir setiap jajanan yang dibawa pramusaji pun dibelinya. Sepanjang perjalanan sang ayah bercerita tentang kampung halamannya. Rupanya anak tersebut sedang diajak mengunjungi kampung halaman ayahnya. Tempat sang ayah menghabiskan masa kecilnya dulu.

Matarmaja namanya. Sebuah kereta subsidi yang selalu penuh sesak, riuh dan seru. Bagi sebagian orang atau penikmat alam bebas pasti memiliki kenangan tersendiri terhadap kereta yang satu ini. Di atas bising laju inilah, kesabaran kita diuji. Seperti halnya kami, yang pada saat ini, harus banyak bersabar menggapai Mahameru. Tempat abadi para Dewa.

***

Hujan terus mengguyur sekeliling. Tapi untuk perjalanan awal seperti ini, kami lebih memilih berjalan dengan penuh kebanggan dan wajah yang penuh seri. Langkah pertama adalah doa. Berdoa agar kami semua dapat kembali ke titik awal dan pulang dengan selamat. Cuaca saat itu memang bukan yang terbaik untuk melakukan sebuah pendakian. Tapi kami sudah berniat. Sudah bertekad.

Kami bukanlah orang paling berani. Kami hanya ingin mengenal diri sendiri. Sampai di manakah batas diri kami, keluh kami, letih kami, dahaga kami dan semangat kami. Mendaki merupakan salah satu proses mengenal kehidupan yang jauh dari kemunafikan. Ketika lapar dan dahaga, kami saling berbagi. Ketika lelah, kami saling menyemangati. Sebuah tamasya yang penuh makna, ketimbang hura-hura tak berguna.

Entah dapat diamini sebagai teori atau tidak, bila suatu tempat semakin banyak didatangi orang maka tempat tersebut semakin mendekati kerusakan. Manusia belum sampai pada tahapan menyatu dengan alam. Kita menggunakan slogan "menjaga alam" hanya untuk mendatangkan pengunjung selanjutnya. Kita membuat iklan, membuat berbagai kegiatan, melakukan pembangunan sana sini tapi ujung-ujungnya hanya demi pendulangan rupiah semata. Komersialisasi pariwisata seperti inilah yang saat ini tengah menjadi kebanggan banyak orang Indonesia di banyak tempat. Itu juga yang kami amati dalam perjalanan menuju puncak Semeru.         

Tas berat yang tergendong di belakang punggung ibaratnya adalah sebuah tanggung jawab. Kita sendiri yang memilih membawanya. Mengatur barang-barang di dalamnya, sehingga menjadi berat. Jika di awal-awal kita menyanggupi menerima beban itu, mengapa di tengah perjalanan harus kita lepaskan. Sekeras apapun medan, seletih apapun tenaga, berusahalah agar tanggung jawab itu tetap terpikul dengan baik. Belajar dari hal kecil untuk menerima sesuatu yang lebih besar.

***

Soekarno berkata "berilah aku 1000 orang tua laksana akan kucabut Semeru dari akarnya, tapi berilah aku 10 pemuda maka akan kuguncangkan dunia". Soekarno mungkin belum pernah merasakan proses berjalan menuju puncak Semeru. Bagaimana keadaan udara di sana, dingin di sana, serta pasir yang tajam mengujam. Ada banyak nyawa yang tertelan di jalan itu. Ya. Karena memang taruhannya nyawa.

Kita harus banyak belajar dari orang tua, dari 1000 orang tua yang di maksud Soekarno. Kita adalah pemuda hari ini. Jika langkah kita lebih gontai dari tiupan angin di Kalimati, jika pikiran kita lebih sempit dari oro-oro ombo, jika hati kita lebih kotor dari air di ranukombolo, jika keteguhan kita tidak sekokoh Gunung Semeru, mustahil kita dapat menjadi "10 pemuda" yang Soekarno maksud. Bahkan masuk dalam barisan orang tua yang mencabut kokohnya Semeru dari akarnya, juga merupakan sebuah ilusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun