Mohon tunggu...
Pendidikan

Suluh Perlawanan untuk Sekolah di Pedalaman Papua

4 Januari 2019   22:46 Diperbarui: 4 Januari 2019   22:48 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Komunitas yang bersangkutan dengan kepunyaan suatu lokasi dengan ciri budaya ekstraktif sumber daya hutan, membuat absennya imajinasi kelangkaan atau berarti tak punya orientasi akan stok makanan.  

Melalui ruang kegerejaan, perjumpaan yang interkultural (multikultural?) memberikan kesempatan orang Papua berkiprah di luar komunitasnya, merasa heterogen karena menjadi bagian dunia, dan merasa modern. Tetapi, Robbins mempertegas bahwa kondisi tersebut tercipta dengan pertama-tama melakukan "penghinaan" atas apa yang dimiliki serta diakui sebelumnya sebagai moral kebaikan. 

Itu bisa merupakan tradisi nenek moyang seperti mengkonsumsi sagu yang didapatnya dari hutan. Menyadari manusia adalah mahluk paling berdosa, dosa yang datang jika tidak sesuai ajaran Tuhan, mencipta krisis sampai robohnya bangunan sosial. Kata Robbins, orang Papua (Melanesia) menerima hukum baru selama mereka masih bisa merasakan manfaat secara ekonomi. Sebagaimana Ayu Utami pernah perikan pula: manusia menantikan sebuah dosa, sesuatu yang kita tahu tidak tepat tapi tak bisa kita hindari (Tempo, 2016).

Cepat atau lambat pendidikan dan masyarakat Papua, setelah melewati "integrasi kebudayaan" (Budayawan, 2018) akan melakukan political correctness, yaitu mengandaikan diri tidak menghina tetapi juga tidak membanggakan diri berlebihan dengan tendensi merendahkan yang lain. Sekilas mirip pengakuan dosa kala orang Papua berjumpa dengan gereja Kristen menjelang akhir abad 19, menerima keadaanya dalam kondisi "cacat," menghina tradisi sekaligus menempelkan stigma buruk sebagai dosa.

Mengapa mereka tidak melawan, dan malah menerimanya?

Entah bagaimana bisa, penerimaan sekolah dan pembelajaran di Papua jauh berbeda dengan kasus suku anak dalam menolak kehadiran Butet Manurung (2013, Sokola Rimba). Butet berjuang mencari solusi terhadap ancaman penipuan transaksi dagang suku Anak Dalam sekaligus merasa dilema karena tidak etis.

Sekolah di Papua, di mana seharusnya berupa ruang dialog atas kontradiksi yang dihadapi di tubuh kelompok tempatan justru minim diperhatikan. Yang berlaku hanya orang berpendidikan tinggi menjadi instruktor. 

Padahal di pedalaman, masyarakat sering menemui konflik terbuka dengan perusahaan perkebunan sawit, tambang, atau sagu. Konsekuen daripadanya, bagaimana dialog itu ada dan apa saja yang pantas didialogkan, mengeliminasi bentuk antagonisme peserta didik. Menerima "ala kadarnya" sekolah seperti halnya gereja.

Tak kurang, Fawaz Al-Batawy (2016, Menyublim Di Sela Hujan) saat bertugas sebagai guru di Asmat menjadi saksi kebenaran ucapan Paulo Freire: "The educator has the duty of not being neutral" dalam arti seluas-luasnya, Al-Batawy harus berpihak pada proses belajar anak-anak di Mumugu Batas Batu, seberapa jauh mereka berhasil mencapainya

Pendidikan pada akhirnya jarang memberikan arahan bagaimana melakukan perlawanan, untuk nanti, nanti, dan waktu yang tak mampu diprediksi. Mari kita simpulkan bahwa sekolah di pedalaman Papua belum tamat, dan sesungguhnya cerita baru dimulai!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun