Mohon tunggu...
Deni
Deni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa

Menjalani hidup dengan apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gatra Buana

18 April 2020   19:36 Diperbarui: 18 April 2020   19:38 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nagariku menjawil napas panjang. Matahari terakuk di bawah seliri-seliri kosong dengan segenap teater yang menganulir seleranya. Langkah tradisional merambat dengan lidah-lidah lengai ketika nahas mengeksploitasi selisih. Sebangsa wejangan dari stadium perut bumi yang meniduri tegahan para petualang.

Suara penenang dari rahang manusiawi berdiri tegap di atas platform sementara. Separuh pemukim bertuan tertatal, mengaduh penuh penyambutan dengan laga tak berkapasitas. Matanya merosot, kulitnya mengawang, dan lututnya merentak tulang kesamarataan setelah kesialan merecoki pembuluh kehidupan.

Jiwa hitam menyambangi sekujur petitih. Lompatan kecil mulai melayari persil-persil kemustahilan. Ada yang menderam di bawah perisai cakrawala, ada yang mendengkur dengan roti dan keju di kepalanya. Sepintas seperti mengarifkan budaya mimpi, tapi ulurannya tak juga menepi di depan pintu yang berongga.

Bisu ... dan tetap khayali. Itulah reaksi dari sahabat alam yang sering disebut komplemen kopi mistis olehnya. Antara memungkinkan dan kemungkinannya yang tak luput dari hal-hal interniran. Entahlah ... saat ini saja, esok, lebih-lebih bisa mengaktualkan kata seterusnya.

Sukabumi, 18 April 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun