Mohon tunggu...
Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Saya hanya pembaca yang baik dan penulis yang kurang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan, Apa Mau-Mu?

13 Maret 2016   03:38 Diperbarui: 13 Maret 2016   03:44 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Tahajud sudah dia lakukan. Sedekah? Jangan tanya! Tiada hari tanpa sedekah. Salat wajib lima waktu berjamaah dilanjut dzikir, baca Al-Qur'an juga tak pernah tertinggal. Tapi ... kenapa Tuhan hanya diam saat ia meronta meminta tolong pada-Nya? Hilang sudah suci, sirna harga diri, mati!

Tak ada sesuatu yang lepas dari ketetapan-Nya, bukan? Bahkan saat aku menuliskan ini, Tuhan juga sudah tahu jauh sebelumnya.

Dalam remang ia berkisah. "Mau Tuhan itu apa?" tanyanya padaku.

Aku hanya diam. Memilin-milin puting lisong yang tinggal beberapa hisapan saja. Air matanya menganak sungai. Sumpah serapah keluar tanpa bisa ditahan-tahan lagi.

"Aku sudah melakukan apa yang Tuhan wajibkan. Tapi kenapa saat aku meronta, menyebut nama-Nya, meminta perlindungan-Nya, Dia hanya diam saja? Hilanglah kesucianku. Lelaki bajingan itu--aku tak tahu siapa dia--dengan leluasa menikmati tubuhku ini. Tuhan hanya diam. Tuhan tak mendengar. Tuhan tak melihat!!!"

Betapa kata-kata darinya keluar dengan nada yang lantang. Ungkapan kekecewaan yang jujur. Aku harus jawab apa?

Angin semilir berhembus. Pikiranku melayang. Aku menahan amarah ketika mendengar sumpah serapahnya. Tapi.... Ah sudahlah! Kubiarkan dia berkoar-koar semaunya tentang Tuhan. Tuhannya sendiri. Bukan Tuhanku.

"Untuk apa Tuhan menyuruh ini itu? Aku sudah lakukan semua. Tapi ketika kumintai pertolongan dariNya, dengan derai air mata juga dengan darah perawanku yang meluber, Dia hanya diam. Dimana Tuhan yang selalu kusembah dan kusujudi?"

Aku semakin muak saja dengan kata-katanya. Perempuan dengan wajah yang penuh amarah. Tak seperti yang dulu kukenal. Selanjutnya, sebut saja dia Fitri. Nama yang indah, bukan? Namun malam ini, di bawah langit Tuhan, Fitri menjadi sesosok yang tak seindah namanya lagi. Rasa-rasanya ingin kutampar dia. Kalimat-kalimatnya yang sarkas terhadap Tuhan, yang terlahir dari sebuah tragedi dan lalu menjelma kekalutan, kegelapan dan kebodohan. Ya, kebodohan!

Asap dari sebatang candu mengepul dari mulutku yang sedari tadi ingin lekas memberontak. Tapi ada yang menahannya. Kejujuran Fitri, kekalutan hatinya, perlahan merasuk. Mengalir di setiap alir darahku yang sudah mendidih. Dua sosok kini bertarung di kepalaku—Tuhannya dan Tuhanku—dua Tuhan yang berbeda. Yang satu Tuhan gelap milik Fitri, dan yang lain adalah Tuhan terang milikku. Asal tahu saja, aku ini muslim, Fitri juga. Namun eksistensi Tuhan kepada diriku dan diri fitri telah menjadi dualisme yang meraung-raung di telinga kanan dan kiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun