Mohon tunggu...
Dhea Riski Triani
Dhea Riski Triani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sociology Education

Hello, it is me, Dhea.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketimpangan Pendidikan: Cikal Bakal Pencipta Kemiskinan di Indonesia

28 Desember 2021   22:34 Diperbarui: 31 Desember 2021   08:14 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Oleh : Dhea Riski Trianii
Email : dheariskitriani@gmail.com

Pendidikan menjadi wadah untuk meningkatkan potensi dan kreativitas manusia. Pendidikan juga merupakan suatu jalan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam filosofi Tri Rahayu-nya yang dikutip dari (Berkamsyah, 2020) bahwasanya ketika semua bangsa-bangsa menjalankan proses pendidikan dengan baik, maka pendidikan akan mampu memberikan kedamaian dalam hidup berbangsa dan bernegara, dan pada saat itu juga masalah dan urusan bangsa akan selesai. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin banyaknya orang yang terpapar oleh pendidikan, maka semakin baik pula suatu negara.


Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah sekolah di Indonesia sudah mencapai 217.283 sekolah. Walaupun jumlah tersebut terbilang cukup banyak, tetapi tidak semua sekolah memiliki kualitas pendidikan merata. Kualitas pendidikan yang tinggi biasanya dapat dirasakan oleh mereka yang bersekolah di perkotaan dan mampu membayar biaya pendidikan yang besar. Dalam (Carey, 2020) dinyatakan bahwa secara keseluruhan siswa yang tinggal di daerah miskin mendapatkan sekolah yang didanai dengan buruk, dan siswa kaya mendapatkan sekolah yang lebih baik. Pada penelitian (Susanto & Indah, 2019) ditemukan fakta bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat kemiskinan, begitu pula sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah tingkat kemiskinan. Siswa yang kaya dan berpendidikan baik akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan mendapat karir dan pendapatan yang menjanjikan, lalu menikah satu sama lain, memiliki anak, dan pindah ke daerah yang memiliki sumber daya yang baik pula. Siklus tersebut akan terus berjalan turun temurun. Dalam (Blanden & Lindsey, 2016) bahwasanya jika seseorang menempuh pendidikan di institusi yang sangat dihormati, maka akan menerima pendapatan yang lebih tinggi di kemudian hari (Hussain et al., 2009; Chevalier, 2011; Walker dan Zhu, 2011). Fenomena seperti itu sebagian besar hadir di masyarakat menengah ke atas, mereka memandang bahwa pendidikan yang berkualitas berhubungan dengan biaya yang mahal, bahkan pendidikan di luar negeri dianggap lebih baik dan unggul kualitasnya dibandingkan pendidikan di negeri sendiri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ketimpangan pendidikan telah disebabkan oleh sistem yang timpang. Kemudian sistem pendidikan yang seperti itu membuat kita bertanya-tanya, bisakah pendidikan tetap berkontribusi untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara nantinya? karena tuntutan masyarakat kelas atas akan pendidikan tinggi mendorong kenaikan harga pendidikan lebih cepat daripada yang dapat diikuti oleh masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian, orang miskin secara bertahap dikeluarkan dari pendidikan, dan akibatnya ketimpangan pendapatan antara yang kaya dan yang miskin meluas dalam jangka panjang. Mekanisme ini juga menyiratkan bahwa pendapatan orang kaya yang tinggi dapat mencegah orang miskin keluar dari kemiskinan.


Dalam (Fitri, 2021) rendahnya kualitas pendidikan Indonesia salah satunya diakibatkan oleh kesenjangan sarana prasarana pendidikan di daerah kota dan desa akibat kurangnya pendanaan dari pemerintah. Dilansir dalam (CNN Indonesia, 2021) bahwasanya pada APBN 2021, pemerintah memang mengalokasikan lagi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran. Jumlahnya mencapai Rp549,5 triliun. Namun sayangnya penggunaan dana tersebut belum efektif, salah satunya disebabkan oleh korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat tak bertanggung jawab. Ketertinggalan pendidikan tersebut semakin dirasakan di masa pandemi sekarang ini. 

Seperti yang kita ketahui bahwa seluruh daerah di Indonesia kini tengah bergulat dengan bencana pandemi yang menghalangi pembelajaran siswa di sekolah.  Konsekuensi pendidikan dari adanya Covid-19 ini memperparah sistem untuk memberikan kesempatan yang adil bagi masyarakat yang terpinggirkan. Pasalnya pembelajaran daring ini sebagian besar mengharuskan siswanya untuk memiliki jaringan internet dan smartphone yang canggih. Namun sayang tidak semua masyarakat memiliki akses tersebut. Seperti yang disebutkan dalam (Tempo.co, 2021) bahwa seorang komisioner KPAI, Retno Listyarti mengatakan kendala pembelajaran jarak jauh terjadi karena keragaman kondisi keluarga peserta didik, keragaman kondisi daerah seluruh Indonesia, dan kesenjangan digital yang begitu lebar antar daerah di Indonesia. Dengan demikian, hambatan belajar seperti kurang-nya akses digital atau kelangkaan dukungan akademik telah menyebabkan ketimpangan pendidikan bagi masyarakat bawah. Hal itu kemudian menjadi jelas bahwa dampak pendidikan yang tidak merata diakibatkan karena kebutuhan pendidikan yang tidak terpenuhi. Dari adanya pandemi kita dapat melihat dengan gamblang bahwa pendidikan Indonesia harus diperbaiki. Maka dari itu diperlukan peran pemerintah untuk mendanai, memperbaiki infrastruktur pendidikan, dan meningkatkan partisipasi peserta didik untuk bersekolah walaupun dalam keadaan serba kekurangan dengan memberikan akses sekolah gratis yang berkualitas. Selain itu peran orang tua dan guru juga cukup signifikan dalam mendampingi siswa selama pembelajaran khususnya pada masa pandemi sekarang, walaupun siswa mempunyai kendala seperti tidak memiliki fasilitas smartphone dan internet, tetapi guru tetap dapat memberikan pembelajaran secara tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan. Hal tersebut diharapkan agar semua peserta didik menerima hak-nya untuk mendapat pendidikan yang layak dan meminimalisir kesenjangan pendidikan yang ada.


Melihat Ketimpangan Pendidikan dalam Perspektif Strukturasi Anthony Giddens.
Anthony Giddens lahir pada 18 Januari 1938. Menurut Stones dalam (Ritzer, 2010) Giddens adalah tokoh paling penting di Inggris Raya, ia seorang ahli teori sosial kontemporer dan salah satu dari segelintir ahli teori sosial kontemporer paling berpengaruh di dunia. Salah satu teori yang paling berpengaruh telah tertuang dalam bukunya yang berjudul 'The Constitution of Society' yang membahas tentang peran struktur (lingkungan sosial, norma, nilai) dan agen (aktor/subjek). Dikutip dalam (Gynnild, 2002) bahwasanya struktur yang ada di masyarakat menurut pengertian Giddens tidak hanya berisi kekangan dan hambatan, tetapi di sana juga memungkinkan perubahan terjadi. Strukturasi Giddens menempatkan keseimbangan antara peran aktor atau manusia dengan lingkungan sosialnya, seperti dalam (Giddens, 1984) bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki keterbatasan atas tindakannya, tetapi di samping itu manusia-lah yang menciptakan struktur sosial dan penyebab perubahan sosial. Giddens mencoba 'menguadratkan lingkaran ini' dengan mengusulkan agar struktur dan agensi dilihat, bukan sebagai elemen yang independen dan saling bertentangan, tetapi sebagai dualitas yang saling berinteraksi (Jones & Karsten, 2003). Jika dikaitkan antara ketimpangan mutu pendidikan dengan teori strukturasi ini tentunya kita dapat melihat bahwa ketimpangan pendidikan yang akhirnya melahirkan masyarakat miskin ini terjadi karena disebabkan oleh faktor struktur/eksternal dan faktor agen/internal, misalnya faktor agen seperti orang yang pemalas sehingga memilih untuk pasrah dengan keadaan miskin dan pendidikan yang rendah. Namun dilain sisi jika kita melihat dari faktor eksternal atau struktur, ketimpangan pendidikan yang melahirkan masyarakat miskin ini disebabkan oleh sistem sosial yang mendukung ketimpangan tersebut, seperti tidak ada peran pemerintah untuk mengupayakan pendidikan yang bermutu dan layak bagi rakyatnya. Jadi, mau atau tidak mau masyarakat dipaksa untuk berserah diri dengan keadaan seperti itu.


Giddens dalam (Giddens, 1993) memberikan analisis bahwa penguasaan fasilitas (ekonomi, sosial- politik, ideologi, dan fisik) sangat menentukan dominasi seseorang, fenomena tersebut ternyata ada di dalam lingkungan pendidikan kita. Siswa yang dapat menguasai fasilitas dan dukungan akses materi akan menjadi siswa yang mendominasi masyarakat yang minim dukungan ekonomi. Tetapi kabar baiknya adalah, struktur bagi Giddens tidak selalu membatasi manusia, struktur tidak bersifat kaku, melainkan bisa diubah sendiri oleh manusia asalkan manusianya sendiri mempunyai kemauan yang kuat untuk mengubah kondisi tersebut. Tindakan individu sehari-hari dapat mengubah atau mempertahankan struktur sosial. Artinya adalah seorang manusia memiliki andil untuk mengontrol struktur yang ada di masyarakat itu sendiri. Itulah yang dikatakan oleh Giddens, antara faktor eksternal dan internal sama-sama tidak bisa dipisahkan, karena di antara keduanya memiliki hubungan timbal balik yang cukup signifikan, atau bisa disederhanakan seperti: agen tidak akan ada jika struktur hilang, pun sebaliknya.


Kesimpulan
Fenomena ketimpangan tampaknya masih sangat terlihat pada wajah pendidikan Indonesia. Untuk meruntuhkan ketimpangan dalam pendidikan tentunya kita harus memprioritaskan kepada masyarakat kelas bawah dan desa dengan didukung ketersediaan pengajar yang berkualitas, fasilitas pendidikan yang memadai dan dapat dijangkau bebas oleh masyarakat kelas bawah, terkhusus pada masa pandemi Covid-19 ini yang telah melonggarkan aktivitas pendidikan di hampir seluruh negeri. Seperti dalam teori strukturasi Giddens, baik struktur dan agen harus selalu bergandengan untuk dapat mendukung kualitas pendidikan di Indonesia, sehingga dari sana nantinya bisa meminimalisir kesenjangan dan akan membangun perubahan sosial. Untuk melakukan perubahan, dibutuhkan seorang individu (agen sosial) yang berani berbuat dan bertindak di luar kebiasaan lamanya.

Referensi :
Berkamsyah, Eka Prasetya. 2020. Relevansi Pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan Konsep Merdeka Belajar Nadhim Makarim. Skripsi. UIN Sunan Ampel Surabaya


Blanden, Jo & Lindsey Macmillan. 2016. Educational Inequality, Educational Expansion and Intergenerational Mobilty. Cambridge University Press. doi:10.1017/S004727941600026X


Carey, Kevin. 2020. School District Borders Can Worsen Inequality. These Students Are Fighting for a Better Education. Time Magazine (U.S Educatiom)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun