Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa yang Tercemar

27 Januari 2012   00:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:25 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_166556" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Bahasa, salah satu media komunikasi baik secara verbal dan non verbal. Bahasa tercipta seiring peradaban budaya manusia sesuai dengan latar belakangnya masing-masing. Penyebaran populasi manusia menyebabkan perbedaan geografis, budaya sampai ke dalam bentuk bahasa. Jika ditelusur, Indonesia berasal dari nenek moyang yang sama, dan persebaran perpindahan nenek moyang yang kemudian terisolir karena faktor alam maka terbentuklah sekat-sekat budaya, dan salah satunya bahasa. Ratusan bahkan lebih, bahasa lokal Indonesia, namun sumpah pemuda telah menyatukan bahasa tersebut. Bahasa lokal adalah warisan nenek moyang yang diturun temurun diajarkan. Sebuah warisan budaya yang luar biasa hebatnya, dan tak terbayang bagaimana leluhur kita membuat kosakata demi kosakata hingga menjadi kalimat utuh dan bisa dipahami semua. Realitanya saat ini, semakin banyak bahasa lokal yang terancam punah, karena yang menguasai hanya merak yang sudah tua dan generasi muda sepertinya enggan untuk belajar. Sangat disayangkan sekali jika sampai musnah, tetapi apa mau dikata itulah roda jaman yang terus berputar dan menggilas apa saja yang tak bisa menghindar. Mungkin anda yang bisa berbahasa daerah/lokal, walau belepotan dan tak sempurna saya salud sekali. Setidaknya masih ada yang mengerti dan memahami bahasa nenek moyangnya. Tentu akan sangat bangga bisa menguasai salah satu bahasa, disaat orang lain tak memahami. Sebuah nilai tambah bagi kita yang bisa menguasai terlebih lagi disaat dibutuhkan. Pertanyaan yang muncul, apakah bahasa memiliki kasta?, saya kalo boleh menjawab ''iya''. Mungkin gengsi anda akan naik saat bisa menguasai bahasa Jerman atau Inggris daripada bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya. Alasannya karena pengakuan dari dunia, bahasa apa yang familiar dan menjadi bahasa resmi internasional, sehingga yang terpilih menduduki kasta tertinggi, walau secara makna atau kekayaan kosakata bahasa daerah tak kalah. Lupakan dulu kasta bahasa, sekarang kembali kebahasa daerah masing-masing. Menguasai bahasa adalah sebuah kebanggaan, sehingga ada rasa memiliki yang cukup kuat, terkebih mereka yang benar-benar mendalami. Nah bagaimana saat bahasa itu dicideria dengan cemaran-cemaran bahasa asing yang semestinya tidak dicampur adukan. Bagi saya pribadi, sangat risih jika ada orang birbicara dengan bahasa jawa dicampur aduk dengan bahasa Indonesia. Atau bahasa Indonesia dengan selingan bahasa Inggris. Satu alasan yang mungkin muncul adalah ''biar kelihatan lebih berkelas dengan menambah kosakata dengan bahasa yang lebih tinggi kastanya''. Lihat saja artis Cinta Laura, bahasa gado-gado separo Indonesia setengahnya bahasa Bule, mungkin dia lahir disana dan artis, jadi maklum adanya. Nah bagaimana dengan orang-orang pinter dan pejabat negeri kita yang kadang terlalu menggunakan bahasa asing?, seharusnya memberi contoh malah ikut-ikutan mba Laura. Mungkin Bule juga jengkel jika bahasanya dicampur dengan bahasa kita. Mungkin dengan mencampur kosakata memang lebih keren kedengarannya, namun menurut saya itu menunjukan kebodohan karena tak menguasai sepenuhnya dan gengsi dikatakan ''ndeso''. Siapa berani bilang unggah, unduh, laman, lebih gaul dan keren aplot, donlot, website bukan..?. Kasihan mereka yang sudah-susah menyusun kosakata agar tidak terlalu banyak menyerap bahasa luar, dan siap-siap hilang kosakata; sahih, sangkil, dsb. Memang akan terkesan kaku, tidak luwes jika menggunakan EYD, namun itu yang bener, tetapi tetap kembali lagi ke realita bahasa ''yang penting saling memahami''. Mungkin saja warisan dan doktrin penjajah, mereka yang bule dengan bahasa bule memiliki derajat budaya&bahasa lebih tinggi, lebih cantik dan ganteng, lebih cerdas dan lebih dari segala-galanya. Jika ditilik kebelakang, kita sebenarnya juga memilik sejarah yang sama dengan mereka, tetapi roda jaman menggilas kita-kita yang tak mampu bersaing. Tapi tetap disyukuri masih bisa menikmati warisan leluhur, bali dipaksa untuk belajar bahasa dengan kasta yang lebih tinggi. Intinya semua bahasa itu sama, karena memiliki fungsi komunikasi yang membedakan hanyalah seberapa banyak yang memakainya. Jangan cemari bahasa kita....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun