Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AAL, Lain Kali Curilah Koruptor

4 Januari 2012   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:21 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada sebuah lagu yang biasa diputar dimasjid, lagu lama yang masih terngiang ditelinga bagaimana hukum itu harus ditegakan. Kira-kira begini syairnya; adiku melanggar hukum, aku yang menjadi saksi, paman menuntut umum, ayah yang mengadili, walau ibu sudah membela, yang salah diputus salah. Saya sebagai umat Kristiani, hafal dengan lagu-lagu yang diputar di Masjid yang kebetulan disamping rumah. Saat itu, dibenak saya, kira-kira anak tersebut salah apa, sehingga satu keluarga terlibat dalam ranah hukum. Namun, dibalik anak salah apa ada sebuah keputusan tegas dari sang Ayah, yang salah diputus salah. Mencoba menarik benang merah antara lagu di masjid samping rumah dengan aksi solidaritas 1000 sandal jepit untuk AAL.

Bukan barang aneh lagi aksi serupa, apalagi saat urusannya dengan publik dan dukungan masa yang kuat. Lewat media masa dan jejaring sosial, seolah semua warga bisa berpastisipasi lewat aksi solidaritas. Entah diluar konsep, tahu dan pahamnya masyarakat tentang kasus yang terjadi, yang namanya solidaritas adalah asa kebersamaan. Lihat saja koin untuk Prita, dimana uang logam disumbangkan untuk menebus Prita dalam kasus pencemaran nama baik. Kasus yang sedang hangat saat ini tentang kelakuan Aparat yang memejahijaukan AAL gara-gara mencuri sandal.

Diawali dari dukungan komnas perlindungan anak, kemudian merata di lingkup akademis ''mahasiswa'', LSM, setelah itu booming di masyarakat. Hampir disetiap daerah ada aksi ''solidaritas 1000 sandal jepit buat AAL'' yang rencanannya setelah terkumpul 1000 pasang sandal akan dikirim ke mabes Polri sambil menunggu putusan hakim. Sepintas, melihat dilayar kaca, penyumbang sandal rela memberikan sandal, baik sandal butut, atau sandal yang masih baru. Lebih unik lagi dengan menyumbang 2 merk sandal yang di gadang menjadi aktor utama, ''Ando dan Eiger''.

Penjara bukan tempat anak-anak, sebuah slogan dibalik aksi solidaritas sanndal buat AAL menjadi himbauan bagaimana menempatkan anak-anak diranah hukum. Hukum yang berprinsip ''semua sama dimata hukum'' menempatkan AAL dan koruptor tak jauh beda, semua duduk dikursi pesakitan. Ancaman hukum 5 tahun buat AAL dengan sandal curian, dan vonis bebas atau penangguhan hukuman bagi pengemplang uang negara seolah jurang pemisah yang jauh. Begitu antusiasnya masyarakat menanggapi kasus AAL yang terancam bui, namun seolah mlempem dengan kasus korupsi dan kejahatan kerah putih.

Kembali kepada lagu di Masjid sebalah, ''yang salah diputus salah'' termasuk AAL. Namun, pertimbangan kemanusiaan, masa depan terhadap AAL menjadi perhatian khusus. Apakah tegas seorang Ayah menghukum anaknya, walau kakaknya menjadi saksi, ibunya ngotot membela dansi paman kekeh dengan tuntutannya, dan akhirnya di putus salah. Selesai perkara saat diputus salah, masalah hukuman tetap ada jalan keluar, bagaimana kebijakan itu diambil. Hantu penjara 5 tahun buat AAL seolah sesuatu yang menakutkan, karena dikurung dalam jeruji besi selama 5x365 hari, sehingga berbondong-bondong menyusun dukungan. Sangat salud buat kita yang peduli dengan nasib AAL, namun masih banyak lagi AAL yang lain yang bernasib lebih tragis dan tidak jelas rimbanya.

Hukum biarkan berjalan sesuai fungsi dan perannya, sehingga ada pelajaran berharga buat kita yang belum pernah masuk didalam ranahnya. Sepertinya naif jika kita gembar-gembor hukum harus ditegakan, disisi lain minta pembebasan karena alasan-alasan tertentu. Yang penting, saat ini adalah menegakan hukum, hingga siapa yang salah tetap salah, dan hukuman apa yang akan dikenakan itu baru diperbincangkan. Ketok palu mungkin sudah menimbulkan efek jera dan trauma, apalagi mendapat perhatian masa. Kecaman sosial adalah sangsi yang berat, dibanding mendekam dipenjara laykanya Artalita atau era Jayanya Gayus.

Solidaritas buat Aal kiranya menjadi awal yang baik menjelang 2012 untuk advokasi generasi bangsa yang terjebak dalam ranah hukum tanpa mereka sadari sebelumnya. Tanggung jawab orang tua, pendidik, pemuka agama, aparat hukum dan yang berwajib harus dinyatakan untuk melindungi generasi kita, jangan sampai masyarakat turun tangan sendiri, terlebih dengan solidaritas yang menampar ketidakberdayaan pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab. Masih banyak AAL lain yang butuh advokasi, masih banyak sandal jepit yang harus dikumpulkan, selain itu ada kasus pencurian semangka, pisang, cokelat dan lain sebagaianya. Jangan menganggap remeh kasus sandal jepit lantas menyumbang sandal jepit, bagaimana jika ada anak mencuri motor, apakah ada aksi serupa. Saya berharap ada anak yang mencuri koruptor, sehingga banyak pihak yang bersolidaritas menyumbang koruptor, lalu kirim ke KPK apa mabes Polri, sehingga bebas negeri ini dari korupsi. Yang salah diputus salah, hukuman adalah kebijkasanaan untuk kebaikan bersama dan tegaknya hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun