Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Ada Apa dengan RUU Pemilu?

28 Januari 2021   12:30 Diperbarui: 2 Maret 2022   13:50 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemilu (sumber: KOMPAS)

Ketiga, Sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam draf RUU Pemilu pasal 206 ayat (1) berbunyi: Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. (2) Sistim proporsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem yang menggunakan daftar nomor urut calon berdasarkan penetapan partai politik yang dihitung berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Sistem proporsional terbuka seperti yang diterapkan dalam Pemilu 2019 dinilai menimbulkan praktik politik biaya tinggi. Pemilu menjelma seperti ‘pasar bebas’ yang menimbulkan persaingan tidak hanya antar parpol tapi juga memicu konflik antar caleg dalam satu parpol. Praktik pemilu dengan sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya logistik pencetakan surat suara dan formulir menjadi lebih mahal. Ukuran surat suara yang relatif lebih lebar dan besar menyulitkan bagi para pemilih saat mencoblos di bilik suara.

Untuk mendukung sistem kepartaian yang kokoh dan profesional semestinya sistem proporsional tertutup menjadi pilihan seperti yang diterapkan pada masa lalu. Partai politik memiliki keharusan untuk melakukan kaderisasi dengan menempatkan calon anggota legislatif yang kompeten dan berkualitas berada di nomor urut teratas. Sistem ini juga yang membedakan pemilihan anggota DPR/DPRD dengan anggota DPD RI.

Keempat, pemberlakuan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold). Dalam RUU Pemilu pemberlakukan ambang batas diterapkan tidak hanya di DPR RI saja namun juga berlaku ditingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 217 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.

Penerapan ambang batas DPR naik menjadi 5 persen dinilai akan menyebabkan semakin besar suara sah yang terbuang. Bahkan diberlakukan ketentuan ambang batas di tingkat DPRD Provinsi sebesar 4 persen (pasal 238) dan DPRD Kabupaten/Kota sebesar 3 persen (pasal 251) akan berdampak pada eksistensi partai politik baru/kecil yang semakin sulit menempatkan anggotanya di parlemen.

Selayaknya praktik demokrasi tetap memberikan ruang yang memadai bagi partai politik dan rakyat yang telah menggunakan hak suaranya. Upaya penyederhanaan partai politik mesti ditempuh dengan cara yang lebih bijak dan adil dengan pembatasan alokasi jumlah kursi di setiap dapil yang lebih proporsional.

Kelima, penerapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Tidak berbeda dengan pilpres pada tahun 2019 dalam draf RUU Pemilu terkait norma pencalonan presiden dan wakil presiden disyaratkan memiliki dukungan minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR.

Pasal 187 ayat (1) berbunyi: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pemilihan Presiden tahun 2014 dan 2019 memberi pengalaman yang sangat memprihatinkan bagi kita. Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon menyebabkan pembelahan masyarakat dalam dua poros besar yang saling berhadapan. Dampak sosialnya masih terasa hingga saat ini, meski kedua paslon presiden dan wakil presiden sudah menyatu dalam pemerintahan.

Pemilu presiden akan lebih adil dan kompetitif jika setiap partai politik yang mempunyai kursi di DPR dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Kita mendorong setiap parpol mengadakan konvensi untuk menjaring bakal kandidat yang akan diusung dalam pilpres. Tentu partai politik juga akan berpikir secara rasional untuk mengusung paslon sendiri atau membangun koalisi dengan parpol lainnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun