Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Ada Apa dengan RUU Pemilu?

28 Januari 2021   12:30 Diperbarui: 2 Maret 2022   13:50 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemilu (sumber: KOMPAS)

Pertama, Normalisasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam RUU Pemilu terdapat norma pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali (Pasal 734 ayat 1). Sedangkan pemilihan kepala daerah serentak masih akan dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 (Pasal 731).

Sementara UU Nomor 10 Tahun 2016 secara eksplisit menyebut waktu pelaksanaan pilkada serentak. Pasal 201 ayat (8) berbunyi; Pemungutan suara serentak nasional  dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Pilkada memiliki urgensi untuk tetap diselenggarakan pada 2022 dan 2023 sesuai siklus pemilihan bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya pada 2017 dan 2018. 

Jika pilkada digelar secara nasional pada tahun 2024 maka sebanyak 271 daerah bakal dipimpin oleh penjabat (Plt) kepala daerah. Selain itu 270 kepala daerah hasil pilkada serentak 2020 mungkin menjabat tidak genap lima tahun hingga 2024.

Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 yang berbarengan dengan pemilu akan berpotensi membebani anggaran negara. 

Secara teknis penyelenggaraan pilkada yang tahapannya beririsan dengan pelaksanaan pemilu juga dapat menimbulkan ancaman elektoral. 

Sehingga, pelaksanaan pilkada sesuai dengan akhir masa jabatan kepala daerah dipandang sebagai pilihan yang rasional sebelum diselenggarakan pemilu daerah pada tahun 2027.

Kedua, Anggota Partai Politik Menjadi Penyelenggara Pemilu. Dalam draf RUU Pemilu yang Pasal 16 ayat 7 berbunyi: Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan Partai Politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. 

Norma itu menyebut bahwa komposisi anggota KPU, KPU provinsi, hingga kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan partai politik. Hal ini bertentangan dengan syarat menjadi anggota KPU seperti terdapat dalam pasal 27 ayat (1) huruf (i) yang berbunyi; mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon;

Aturan soal keanggotaan KPU dari parpol ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 81/PUU-IX/2011. Putusan ini menutup kesempatan anggota parpol untuk menjadi calon anggota KPU atau anggota Bawaslu. Jika hendak menjadi penyelenggara pemilu, mereka diharuskan mundur dari parpol sekurang-kurangnya lima tahun saat pendaftaran.

Sekedar contoh, pada pemilu tahun 1999 anggota KPU terdiri dari perwakilan partai politik dan perwakilan pemerintah. KPU tidak bisa menetapkan hasil pemilu karena ditolak oleh partai yang kalah sehingga mengakibatkan ketidakpastian politik. Selain itu sudah sepatutnya lembaga penyelenggara pemilu harus independen dari kepentingan partai politik sebagai peserta pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun