Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Dilema Politik Dinasti Dalam Pilkada

28 Agustus 2020   10:35 Diperbarui: 28 Agustus 2020   13:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polemik seputar politik dinasti kembali mencuat seiring tahapan pemilihan serentak kepala daerah pada 9 Desember 2020. Perdebatan dipicu dari tampilnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi sebagai bakal calon Walikota Surakarta. Selain itu ada menantu Jokowi, Bobby Nasution yang diusung oleh sejumlah partai politik sebagai bakal kandidat Walikota Medan.

Tak ketinggalan putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah akan maju dalam Pilkada Kota Tangerang Selatan. Politik Dinasti semakin meruyak dengan munculnya nama istri kepala daerah menjadi bakal calon bupati/walikota menggantikan suaminya yang tidak mungkin berlaga kembali sebab sudah menjabat selama dua periode.

The Indonesian Institute mencatat, setidaknya ada 52 bakal calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada tahun ini terindikasi dinasti politik. Sebanyak 71,5 persen bakal calon akan maju di tingkat kabupaten dengan rincian 27 bakal calon bupati dan 10 bakal calon wakil bupati.

Sementara itu, 25 persen bakal calon yang terindikasi politik dinasti maju di tingkat kota, terdiri dari 10 bakal calon wali kota dan tiga bakal calon wakil wali kota. Sekitar 3,85 persen bakal calon dari dinasti politik mencoba peruntungan di tingkat provinsi, satu bakal calon gubernur dan satu bakal calon wakil gubernur. (https://republika.co.id/berita/qfq3ep396/52)

Sejatinya praktik politik dinasti di tanah air sudah berlangsung sejak lama. Pada pilkada tahun 2015-2018 tercatat 177 kepala daerah terpilih berasal dari dinasti politik. Sebanyak 104 anggota DPR periode sekarang disebut memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan dengan elit politik yang berkuasa di negeri ini.

Pengertian politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu daerah. Dinasti politik bukan hanya sekedar ekspansi kekuasaan tapi merupakan bentuk perlindungan diri dengan memprioritaskan anggota keluarga atau kerabat untuk melanggengkan kekuasaan. Direktur Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi menyebut sejumlah model politik dinasti yang berlangsung di Indonesia.

Pertama, Dinasti Politik ‘arisan keluarga’ dimana satu keluarga berganti memimpin suatu daerah. Pola seperti ini yang diterapkan dengan mengusung istri/anak/kerabat kekuarga terdekat dari kepala daerah tersebut untuk mengikuti pemilihan. Partai politik pengusung beralasan keberhasilan yang ditorehkan oleh suami dalam memimpin suatu daerah dapat dilanjutkan oleh istri. Popularitas suami sebagai bupati/walikota diharapkan dapat menjadi jaminan untuk mendulang suara warga guna memperoleh kemenangan.

Kedua, Dinasti politik lintas cabang kekuasaan. Model seperti ini menempatkan anggota keluarga di berbagai jabatan publik seperti eksekutif dan legislatif. Contohnya di Kabupaten Kutai Timur, sang suami menjadi Bupati sedangkan istrinya menjabat Ketua DPRD setempat. Belakangan pasangan suami istri ini ditangkap oleh KPK karena diduga melakukan tindak korupsi.

Ketiga, Dinasti politik lintas daerah. Hubungan keluarga dan kerabat yang menjadi pejabat publik di daerah yang berbeda dalam satu wilayah provinsi. Nama besar keluarga menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk memberikan dukungan dalam kontestasi. Sebagai contoh pola seperti ini terdapat di Provinsi Banten dan Sulawesi Selatan.

Sejumlah faktor menjadi alasan menjamurnya praktik politik dinasti pada era pemilihan kepala daerah secara langsung. Diantaranya, menurut Peneliti dari Northwestern University, Yoes C Kenawas, tidak ada aturan yang melarang dinasti politik mengikuti pemilihan. Konstitusi menjamin hak politik setiap warga untuk memilih dan dipilih sesuai aturan perundang-undangan tanpa membedakan latar belakang asal usul dan keturunan.

Sejauh ini belum ada regulasi yang melarang keluarga atau kerabat pejabat publik untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi dan menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada. MK beralasan dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun