Mohon tunggu...
Dhani Sugesti
Dhani Sugesti Mohon Tunggu... Editor - Penulis Sastra

Penulis Buku Sastra Jingga, Sajak Yang Terlupakan, dan antologi lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Sudahi Karakter "Iblis" Itu

24 April 2019   12:25 Diperbarui: 24 April 2019   12:42 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pasca Reformasi, gerbang demokrasi terbuka luas, butuh waktu untuk pendewasaan bangsa, agar tidak terlalu over acting dalam memaknainya. Kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berpikir, kebebasan dalam segala hal, ada batas dan aturan mainnya. Demokrasi memberi kesadaran bagi kita untuk memahami arti "Kebebasan yang terbatas". Kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pendidikan karakter dan nilai-nilai moral religi adalah keniscayaan yang harus terus digalakan. Terutama saat berperan di ranah politik dan kehidupan bernegara.

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu manifestasi demokrasi itu sendiri. Memilih pemimpin secara langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER). Pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling menggerahkan, mata rantai dari pemilu sebelumnya, yakni tahun 2014. Di awal masa pemerintahan Joko Widodo, geliat oposisi begitu masif mengkritisi pemerintah. Bukan lagi kritik, --sebab kalau kritik tentu disertai solusi terbaik-- tapi lebih kepada upaya menjatuhkan atau semacam mosi tidak percaya terhadap kinerja pemerintah. Mencuatlah budaya bullying, hatespech, gibah berjama'ah, fitnah, provokasi, dan seterusnya. Yang dikenal kemudian istilah informasi berita Hoax (Hoaks). Dan itu cukup lama mengalir di urat nadi bangsa kita, jadi budaya dan kebiasaan, bahkan cukup rentan menimbulkan konflik antar sesama bangsa. 

Isu-isu doktrin religi senantiasa jadi senjata untuk dibenturkan dalam kemasan kritik pada kekuasaan. Uniknya, peran Ulama banyak dijadikan jubir kritik, bahkan pemanas, bukan dijadikan perangkul dan pendingin keadaan bangsa yang kegerahan. Adanya demonstasi berjilid-jilid, pembubaran ormas HTI, dan menjamurnya budaya hoaks di sosial media, kian dirasa tidak memberi kenyamanan. Ada banyak upaya adu domba, bentur sana-sini, dari elit politik sampai tokoh agama. Pada klimaksnya, "Adu Kerbau" pada pemilu 2019, dari paslon Capres-cawapres yang hanya dua kandidat itu, menambah hingar bingar bangsa dalam berdemokrasi politik yang kebablasan. Saling menjatuhkan satu dan lainnya. Yang rusak terinjak-injak oleh aksi "Adu kerbau" itu, ya, rumput ilalang itu sendiri, bangsa Indonesia. 

Lantaran pilpres, kawan menjadi lawan, saudara menjadi orang asing, yang berbeda pilihan dianggap musuh, dan seterusnya. Rumput ilalang kian rusak dan terpuruk penuh dilema. Adu mulut, adu pendapat, adu cacian, adu hinaan, adu apa saja, yang mereka mampu dan tahu, untuk mempertahankan egosime, harga diri, dan membela tokoh idolanya 'sampai mati'. Bahkan setelah pemilihan umum tanggal 17 April 2019 berlalu, perseteruan itu terus membelenggu kehidupan berbangsa.

Rekonsiliasi pemilu 2019, sangat perlu dilakukan, digalakan, terus diupayakan, untuk memberi ruang kesadaran, penyesalan, dan saling menarik diri agar bangsa ini tidak terus mengumbar ego dan emosi pada sesama saudara sendiri, saudara setanah air. 

Bukan masalah siapa yang harus memulai. Mulailah dari dirimu sendiri. Terutama para pemimpin negeri, para kandidat capres-cawapres, caleg, dan elit politik, kita semuanya. Menarik diri, bersabar, kemudian merangkul kembali, apa yang tercerai berai, kembali dalam satu ikatan kuat, Bhinneka Tunggal Ika. Satu bangsa, satu bahasa, satu negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika bukan diri kita yang melakukannya, siapa lagi?

Masa si Ipin dan si Upin.

Sebagai penutup, saya ingin membacakan puisi dari Maulana Jalaludin Rumi dalam kitab Matsanawi. Agar kita menghindari karakter yang diwariskan Iblis; egoisme, dan takabur (sombong). Kita sudahi berkarater iblis itu. Sebab Iblis suka mengritik sok tahu (Qs.02:30), hingga melakukan pembangkangan pada Tuhan, lalu menghasut dan menggelincirkan kesesatan pada Adam dan Hawa (manusia).

Keakuan telah butakan manusia
Karena sirna rasa malu dan akal
Sebagaimana ratusan ribu tahun silam
Rasa keakuan telah gelincirkan umat
Iblis berkata: "Aku lebih utama dan mulia"
Karena aku punya banyak kemampuan
Aku tercipta dari api, sedang Adam dari tanah
Api lebih utama dari tanah
Kemana Adam saat itu
Ketika aku menjadi penghulu alam

(Rumi, Matsnawi, jilid 5, bait 1920-1926) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun