Mohon tunggu...
Musrianto
Musrianto Mohon Tunggu... Lainnya - Aku tidak pernah membenci siapapun

Pengalaman adalah guru abadi yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, oleh sebab itu bagikan dan amalkanlah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Seorang Anak

18 November 2018   12:45 Diperbarui: 18 November 2018   13:18 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang anak, menelepon ayahnya yang tinggal pisah rumah dengan dirinya dan ibunya. 

Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantar dirinya ke sekolah seperti hari-hari biasanya. Jarak tempuh sekolahnya 1 (satu) kilo meter dari rumahnya, dan si anak bertubuh lemah. 

Pagi itu jam 6:00 si anak menelepon ayahnya: 

Anak: ayah, antarkan aku sekolah. 

Ayah: ibumu kemana? 

Anak: ibu sakit yah, tidak bisa mengantarkan aku ke sekolah, kali ini ayahlah antarkan aku ke sekolah. 

Ayah: ayah tidak bisa, ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot saja atau ojek.

Anak: ayah, uang ibu hanya tingal 10 ribu, ibu sakit, kami pun belum makan pagi, tak ada apa apa dirumah, kalau aku pakai untuk ongkos, kasian ibu sakit belum makan, juga adik-adik nanti makan apa ayah? 

Ayah: ya sudah, kamu jalan kaki saja kesekolah, ayah juga dulu kesekolah jalan kaki. Kamu anak laki laki harus kuat. 

Anak: ya sudah..., terimakasih ayah. 

Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya. Dihapusnya air mata dari sudut-sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar, ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum. 

Ibu: apa kata ayahmu nak? 

Anak: kata ayah iya ibu, ayah kali ini yang antar aku kesekolah. 

Ibu: baguslah nak, sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antarkan dirimu kesekolah. 

Anak: iya ibu, ibu tenang saja, ayah yang antar, ayah bilang aku tunggu didepan gang supaya cepat ibu. 

Ibu: berangkatlah nak, belajar yang rajin dan yang semangat. 

Anak: iya ibu...

Tahun berganti tahun, kenangan itu tertanam dalam di ingatan si anak. Dia sekolah sampai pasca sarjana dengan biaya beasiswa. Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar. 

Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik adiknya sampai sarjana. 

Satu hari, saat di kantor ayahnya bertelepon. 

Anak: ada apa ayah? 

Ayah: nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah kerumah sakit 

Anak: memang istri ayah kemana? 

Ayah: sudah pergi nak sejak ayah sakit sakitan. 

Anak: ayah, aku sedang kerja, ayah kerumah sakit pakai taxi saja. 

Ayah: kenapa kamu begitu? Siapa yg akan urus pendaftran di RS dan lain-lain? Apakah supir taxi? Kamu anak ayah, masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus? 

Anak: ayah, bukankah ayah yang mengajarkan aku, mengurus diri sendiri? Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak ?.

Ayah, aku masih ingat, satu pagi aku menelpon ayah minta antarkan ke sekolahku,waktu itu ibu sakit, ibu yang selalu antarakan kami anak-anaknya. Yang mengurus kami seorang diri, namun ayah katakan aku pergi jalan kaki, tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun ayah katakan anak laki laki harus kuat, dan ayah katakan ayahpun dulu berjalan kaki kesekolah. Maka aku belajar.

Bahwa karena ayah lakukan demikian, maka akupun harus lakukan hal yang sama. Saat aku sakitpun hanya ibu yang ada mengurusku, saat aku membutuhkan ayah, aku ingat kata kata ayah, anak laki laki harus kuat. 

Ayah tau...?. Hari itu pertama kali aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku kesekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang. 

Tapi ayah tau...?. Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu bisa mengetahui kalau aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku kesekolah. 

Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama, ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa maka walau tubuhku yang lemah aku harus bisa. Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa. 

Si ayah terdiam..., sepi diseberang telepon. Baru disadarinya, betapa dalam luka yang di torehkan di hati anaknya. 

Anak adalah didikan orangtua. Bagaimana kita bersikap, memperlakukan mereka. Kita sama saja sedang mengajarkan mereka, bagaimana memperlakukan kita kelak, ketika kita tua dan renta. 

Si anak Dosa? Mungkin.... 

Si anak Durhaka? Barangkali.... 

Yang jelas ayahnya yang membuat anaknya demikian. Dan kelak orangtua membuat pertangung jwbnnya masing-masing kepada sang Khalik, Si Empunya Anugerah yang di titipkan kepada msing-masing. 

Menjadi orangtua bukan karena menanamkan benih atau karena melahirkan. Menjadi orangtua, karena mengasuh, mendidik, menyayangi, menberi waktu, perhatian, mengayomi, mencurahkan perhatian dan kasih sayang. 

Menjadi orangtua, tidak ada kata pensiun.. Finishnya hanya dikematian.

Sekian...

Semoga bermanfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun